[caption id="attachment_179532" align="aligncenter" width="298" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption]
Sebuah catatan memperingati hari Autis sedunia
by. Aulia Gurdi
Hari Autis sedunia yang jatuh pada hari ini, menyisakan banyak cerita dan kisah tersendiri bagi keberadaan mereka para penyandangnya. Bila saja mampu mereka berbicara dan mengungkap isi hati, tentu ada banyak suara hati yang ingin mereka tuturkan. Perasaan ingin juga dihargai, dimengerti dan diterima keberadaannya ditengah masyarakat mungkin menjadi sebagian mimpi dan keinginan mereka.
Autis adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang kompleks. Dapat terjadi pada anak dalam masa tiga tahun pertama kehidupannya. Â Biasanya ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, interaksi sosial, dan minat yang terbatas serta berulang-ulang (repetitif). Ada banyak gejalanya, diantaranya yang paling menonjol adalah sulitnya melakukan kontak mata, terlambat bicara atau kalaupun berbicara dalam bahasa yang terdengar aneh dan tak mudah dimengerti, senang kegiatan yang berulang-ulang dalam durasi waktu tertentu, interest dengan segala bentuk benda dan mainan yang berputar-putar, seperti memutar roda, kipas angin, kincir, umumya hiperaktif, meski pada beberapa anak hypoaktif (sangat pasif). Kesemua gejala ini membuat mereka tampak berbeda dengan anak-anak pada umumnya dan seperti hidup pada dunianya sendiri. Namun apabila individu dengan autisme mendapat perhatian, penanganan, kesempatan serta dukungan positif yang memadai dari keluarga dan masyarakat sekitar, maka besar kemungkinan anak akan berkembang lebih optimal.
Pentingnya Identifikasi Kemampuan Anak Autistik
Saat usia seorang anak autistik memasuki usia sekolah, dilema dihadapi para orangtua mereka. Ini disebabkan umumnya perkembangan kognitif anak autis  seringkali tak sesuai usianya. Meski tak semua anak mengalaminya. Lalu pertanyaan berikutnya, dimanakah anak autis harus bersekolah?
Seperti diulas pada www.autis.info, pendidikan (sekolah) yang selama ini menerima anak autis adalah sebagai berikut;
- Anak autis di sekolah normal (inklusi) dengan integrasi penuh
- Anak autis di sekolah khusus (ekslusi)
- Anak autis di SLB
- Anak autis hanya menjalani terapi.
Ada sekian parameter yang harus diperhatikan untuk menemukan sekolah yang tepat bagi seorang anak autistik, yakni dengan melihat perkembangan kemampuan dasar masing-masing anak, diantaranya adalah berdasarkan kemampuan akademis, ketrampilan sosial dan tingkah laku, ketrampilan berkomunikasi, dan mandiri dalam prilaku sehari-hari.
Parameter ini menjadi penting, karena dari sinilah seorang anak autistik bisa diidentifikasi dengan lebih akurat gangguan prilakunya. Hal ini berguna untuk memudahkan guru, trapis, dan orangtua memberikan penanganan yang tepat sesuai kemampuan si anak, yang memang pada dasarnya memiliki keunikan sendiri satu dengan lainnya. Namun sangat disayangkan, masih banyak orangtua menginginkan anak autisnya bersekolah karena status, padahal mengintegrasikan anak autisme dengan anak normal secara penuh harus dengan suatu konsep, perhitungan yang matang dan kerja keras.
Dalam sekolah inklusipun orangtua masih menemukan sekian banyak tantangan mengawal anak autisnya. Perlakuan diskriminatif kerap masih mereka terima. Umumnya datang dari para orangtua murid, dan juga murid-murid teman sebayanya sendiri. Prilaku aneh dan cenderung hiperaktif anak-anak spesial inilah yang sering menjadi sumber ketidaksenangan sebagian orangtua menerima anak-anak ini hadir berbaur ditengah anak-anak mereka. Ejekan dan bully dari sesama teman juga sering menjadi cerita lazim yang kerap menimpa seorang anak spesial. Meski tak semua berlaku demikian.
Namun, kekhawatiran dan kecemasan para orangtua sepenuhnya bisa dimaklumi. Karena pada banyak kasus, anak spesial kerap tak bisa mengontrol emosi bila hati dan perasaannya tak nyaman. Mereka cenderung menyerang dan mengamuk pada orang disekitarnya. Hingga ini menjadi sebuah dilema seorang anak spesial masuk dan berbaur dengan teman seusianya di sebuah sekolah inklusi. Menjadi sebuah ekstra kerja dan pengorbanan bagi guru utama dan guru pendamping yang terlibat. Sesuatu yang akhirnya menjadi sebentuk kerja amal dan pengabdian yang tak bisa dinilai dengan apapun.