Mungkin kampanye penyalahgunaan kata autis ini sudah sangat sering disuarakan. Terlebih di hari autis sedunia yang diperingati tanggal 2 April. Namun nyatanya gaungnya belum cukup efektif sampai pada banyak orang. Saya katakan begitu, karena beberapa waktu lalu hal serupa masih saya temui.
Saat saya berbelanja disebuah toko buah membawa anak bungsu saya. Dia anak spesial saya. Penyandang autis. Tibalah giliran membayar. Saat itu antrian dikasir lumayan panjang. Sayapun ikut dalam antrian. Tiba-tiba kudengar si mbak kasir berteriak meminta bantuan temannya karena ia kewalahan melayani custmer sendirian. Yang dipanggil sedang asik BB-an. "Heiii....sianu...sini bantuin gw dongg...autis banget si lo...dari tadi BB-an mulu..." demikian teriak si mbak kasir kepada temannya. Teriakannya lumayan keras, hingga saya yang ada diantrian paling belakang bisa dengan jelas mendengarnya. Gemas mendengarnya. Rasanya ingin segera saya tegur dia. Tapi keramaian antrian membuat saya urung melakukannya. Sungguh... miris mendengarnya. Inginnya abai. Tapi nurani saya terusik. Tak tahukah dia anak yang saya bawa saat itu, yang ada dalam troly belanjaan saya, adalah penyandang autis yang sesungguhnya.
Tak tahukah dia, bahwa autis adalah gangguan prilaku berat yang sangat kompleks, dan butuh penanganan serius dengan segala pengorbanannya. Ini hanya sekelumit kisah yang saya alami. Anda pasti masih sering mendengar orang menggunakan idiom kata ini tidak pada tempatnya. Menyebut kondisi asyik sendiri sebagai keadaan autis. Dan berceloteh dengan mengolok-olok menggunakan kata autis. Seperti di media-media sosial semacam facebook, masih sering saya jumpai komen-komen dari banyak orang menggunakan kata-kata serupa tidak pada tempatnya. Tahukah anda betapa beratnya perjuangan merawat anak autis.
Coba simak ini. Bayangkanlah, ketika anak yang kita sayang begitu sulit kita pahami keinginannya karena sederet keterbatasannya... Saat kita panggil dia abai seolah tuli... Saat kita tatap matanya  ia menghindar... Saat ia sangat gelisah ketika kita ingin sekedar memeluknya... Saat ia menghilang pergi jauh dari rumah tanpa tahu bagaimana cara pulang kembali... Saat tiba-tiba ia menangis tersedu, tanpa kita tahu apa penyebab kesedihannya... Saat ia mengamuk, mencakar dan berteriak juga tanpa sebab yang tak jelas... Saat ia menerjang bahaya,  dengan memanjat pada ketinggian meski sudah berkali-kali kita melarangnya... Saat ia menyakiti dirinya sendiri dengan menggigit tangannya, bahan terkadang membenturkan kepalanya, akibat frustasi karena keinginannya yang tak juga bisa kita pahami.... Saat sakit yang dideritanya tak bisa ia terjemahkan, hingga ia menangis tanpa pernah kita tahu apa yang dirasakannya... Saat ia nyaris tertabarak kendaraan, karena melesat ke jalan raya tanpa mengerti sama sekali akan akibatnya padahal usianya sudah cukup besar.... Saat semua anak ceria berangkat ke sekolah sementara ia hanya tinggal dirumah, karena sekolah belum bisa menerima kekurangannya.... Dan sejuta "saat-saat sulit" lainnya, yang rasanya tak lagi bisa diungkapkan dalam kata...
Cobalah bayangkan...sejenak saja....rasanya tak akan menghabiskan waktu anda. Bila anda kerap tidak bisa bersabar menghadapi kenakalan anak anda yang sehat jiwa raga dengan segala kelebihannya dan mampu menyampaikan segala keinginannya, bayangkanlah bagaimana bila yang anda hadapi anak-anak spesial dengan segala kekurangan dan keterbatasannya?? Semua yang saya ungkapkan di atas, pastilah dialami semua orang tua dari anak berkebutuhan khusus.
Menggunakan kata autis untuk olok-olok terang berkonotasi negatif. Tanpa disadari telah memperjelas kekurangan seseorang. Terasa sangat menghinakan bahkan melecehkan. Mungkin tak ada maksud sejauh itu bagi mereka yang mengucapkannya. Lebih karena keawaman. Saya mafhum dan untuk itulah tulisan ini hadir.
Jika ucapan kita adalah sebuah doa, maka ucapkanlah sesuatu sesuai pada porsinya. Mengingat autis adalah gangguan prilaku kompleks, jangan pernah sebut dan menyematkan label autis ini pada orang sehat walafiat apalagi pada anak-anak kita. Bagaimana bila ucapan itu teraminkan? Melihat semua ini rasanya saya perlu meluaskan kembali kampanye ini disini. Karena ada banyak ratusan anak diluar sana yang menjadi penyandang sindrom autis ini. Andai saja mereka bisa memilih, tentu merekapun tak ingin dilahirkan sebagai autisme. Tapi siapa yang bisa memilih takdir?
Semoga anda tergugah kawan...setidaknya anda bisa memulainya dari diri sendiri untuk kemudian bisa ikut mengingatkan teman dan orang sekitar anda untuk menggunakan idiom autis ini pada tempatnya. Tidak lagi menggunakan kata autis sebagai bahan olok-olok sehari-hari dan menempatkannya sesuai konteks.
Â
Share your care....
Â