Beberapa waktu lalu, teman dari teman saya melakukan diet mati-matian untuk mengecilkan payudaranya. Frustrasi karena dietnya tidak terlalu berdampak signifikan terhadap ukuran payudaranya, ia pun mencoba cara lain. Ia membeli banyak baju oversized berwarna hitam agar payudaranya tidak tampak besar. Untuk opsi terakhir, ia bahkan mempertimbangkan operasi plastik. Usut punya usut, ternyata perilaku tersebut disebabkan komentar merendahkan dari laki-laki di sekitarnya perihal payudaranya yang besar. Cerita ini sudah ada beberapa bulan sebelum istilah "tobrut" sepopuler sekarang.
Belakangan, ada artikel yang viral soal siswi paskibraka yang terpilih jadi pengibar bendera merah putih di IKN. Video dokumentasi pelepasan paskibraka nasional tersebut pun beredar di Tiktok. Kendatipun video tersebut memperlihatkan bakat dari sang siswi, namun banyak komentar tidak senonoh yang justru menyoroti tubuhnya. Para netizen tak berbudi terus mendaur ulang kata "tobrut" di kolom komentar video tersebut.
Istilah tobrut sendiri merujuk kepada penyebutan payudara yang besar, namun disematkan kepada pemiliknya. Istilah ini viral di sosial media seperti Tiktok dan Instagram reels. Tak hanya laki-laki, banyak pula perempuan yang menyematkan panggilan ini kepada perempuan lain. Para pelaku memperlakukan subjek yang dipanggil "tobrut" seolah pantas diobjektifikasi karena ciri fisik mereka.
Selain tobrut, ada pula istilah "pick me" yang juga viral beberapa waktu lalu. Pick me sendiri bermakna orang yang suka mencari perhatian lawan jenis dengan cara merendahkan sesama jenisnya. Biasanya istilah ini lebih sering disematkan kepada perempuan, namun tak jarang disematkan pula pada laki-laki. Sialnya, istilah ini mengalami perluasan makna di sosial media sehingga maknanya menjadi kabur. Seseorang bisa saja disebut pick me jika ia berperilaku berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Padahal, tak semua orang yang berbeda menjadi demikian karena mencari perhatian lawan jenis. Jika menelan bulat-bulat semua omongan netizen, maka orang-orang neurodivergent juga bisa dianggap pick me karena cara kerja otak yang berbeda dengan sebagian besar orang yang neurotypical. Si feminin, si tomboy, si soft boy, si bad boy, manusia dengan berbagai karakter juga bisa dicap pick me jika ada orang yang mengusulkannya, lalu diamini oleh banyak netizen. Di sinilah kemudian kita harus menarik garis batas. Tanpa itu, semua orang dapat menjadi pick me jika sedikit saja menunjukkan ucapan atau perilaku yang berbeda.
Istilah "aura magrib" juga viral di sosmed belakangan ini. Awalnya, saya mengira istilah ini disematkan untuk orang-orang yang dianggap punya aura teduh, tapi ternyata saya salah. Istilah ini disematkan netizen kepada orang yang berkulit gelap sehingga diasosiasikan dengan waktu magrib yang gelap. Dalam konotasi negatif, tentunya. Sungguh naif saya yang dulu mengira komentar-komentar tersebut merupakan pujian. Istilah yang aneh, mengingat Indonesia adalah negara tropis yang mana banyak dari penduduknya berkulit gelap.
Istilah-istilah tersebut semakin menjamur karena netizen berlomba-lomba mengikuti tren. Agar tetap relevan di dunia yang terus berubah, masyarakat pun mewajarkan istilah yang merendahkan sebagai bahan lucu-lucuan.
Selain keinginan untuk tetap relevan, istilah-istilah tersebut dapat eksis juga dikarenakan mental perundung yang menggebu-gebu dan haus validasi. Para pelaku perundungan ingin merendahkan orang lain yang tidak mereka suka. Ketika mendapat istilah yang tepat dan viral, mereka pun bahagia karena ternyata pengalamannya relevan dengan banyak orang. Semakin banyak orang yang menggunakan istilah serupa, makin terasa biasa saja, sehingga kebanyakan orang tidak berpikir dua kali untuk menyebutkannya.
Di balik topeng dunia maya, orang-orang membutuhkan validasi atas perasaan dan perbuatan mereka di dunia nyata. Perasaan dan perbuatan tersebut divalidasi oleh pengalaman orang lain yang serupa. Ketika hal tersebut terus terjadi tanpa batasan, terjadilah hilangnya perasaan bersalah secara kolektif. Hal ini dikarenakan seburuk apapun perbuatanmu, akan selalu ada orang yang pernah melakukan hal yang serupa.
Misalnya saja, seseorang bercerita di sosial media tentang pengalamannya ketika melabrak atau merundung teman sekelasnya. Ia mengatakan bahwa hal tersebut ia lakukan karena perbuatan atau sifat menyebalkan dari temannya itu. Sebagai respons, para netizen yang pernah melakukan hal serupa berkomentar dan memvalidasi perbuatan si pengunggah. Tak hanya memvalidasi perbuatannya, tapi juga memvalidasi perasaannya saat itu. Kemudian orang-orang pun mulai menormalisasi bahwa orang dengan ciri tertentu layak untuk diperlakukan buruk.
Orang-orang dengan mental perundung tentunya bisa menjadi sangat kreatif. Mereka tak segan-segan menggunakan waktu ibadah sebagai referensi untuk istilah baru mereka. Seperti tobrut, istilah aura magrib juga dapat menyebabkan rendah diri hingga keinginan untuk mengubah fisik secara ekstrim. Sementara itu perluasan makna dari istilah "pick me" sendiri juga menghambat orang-orang untuk berekspresi karena takut mendapat cap buruk dari orang lain. Selama tidak merugikan orang lain, kenapa kita harus takut dengan ucapan latah para netizen?
Tobrut, pick me, dan aura magrib adalah fenomena latah yang membudaya. Orang-orang dengan mental perundung menciptakan istilah yang mereka anggap keren, lalu diikuti oleh banyak orang. Semakin viral istilah tersebut, semakin banyak orang yang berlomba-lomba mengikutinya. Semakin banyak orang yang menyebutkannya, maka masyarakat akan semakin menganggap biasa saja. Melakukan hal yang sudah dinormalisasi tak ubahnya seperti membuang kotoran, dilakukan secara rutin dan tanpa perasaan bersalah.