Beberapa tahun belakangan ini, permasalah/isu tentang system zonasi dalam kegiatan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi perdebatan panas di kalangan Masyarakat dan pelaku Pendidikan. Sistem yang berlaku ini berusaha untuk meratakan akses Pendidikan yang ada di Indonesia, namun perlu diperhatikan bahwa kesenjangan Pendidikan dan infrastuktur di tingkat daerah dapat memberikan implikasi kontra terhadap efektivitas system zonasi tersebut.
Penting diakui bahwa Pendidikan di Indonesia dihadapkan pada masalah kesenjangan yang signifikan antara desa dan kora. Dari segi fasilitas, kurikulum bahkan guru yang berkualitas cenderung memadai pada tingkat Kawasan perkotaan. Dalam hal ini, menerapkan system zonasi secara langsung dapat mengakibatkan ketidaksetaraan akses Pendidikan, karena tidak semua wilayah memiliki infrastuktur dan fasilitas yang memadai, Hal tersebut menghasilkan banyak siswa siswa di daerah tertinggal mungkin tidak memiliki peluang yang sama untuk mendapat Pendidikan berkualitas.
Dalam sebuah jurnal oleh Ahmadi et al. (2019), disoroti bahwa implementasi sistem zonasi pada PPDB memerlukan koordinasi yang kompleks antara pemerintah daerah dan institusi pendidikan. Sayangnya, kesenjangan kompetensi dan pengalaman di antara daerah-daerah dapat menghambat kelancaran penerapan sistem tersebut. Di beberapa daerah, mungkin sulit untuk menjamin bahwa setiap sekolah mampu memberikan pendidikan berkualitas yang sejajar dengan standar nasional.
Sementara itu, jurnal lain oleh Fitriani (2020) mengemukakan bahwa kebijakan zonasi dalam PPDB bisa saja memicu fenomena "sekolah unggulan" di daerah tertentu. Akibatnya, sekolah-sekolah di zona-zona favorit tersebut mungkin akan kebanjiran pendaftar, sementara sekolah di zona-zona yang kurang diminati akan sepi peminat. Hal ini dapat memperparah ketidaksetaraan dalam kualitas pendidikan antar daerah, karena sekolah-sekolah di zona kurang diminati bisa kehilangan daya tarik untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam merumuskan sosuli terkait hal ini, pentingnya melihat melampaui penerapan system zonasi secara kaku. Mungkin perlu dipertimbangkan penyesuaian dalam peneraman sistem ini untuk mengakomodasikan perbedaan kondisi berbagai daerah yang ada. Selain hal tersebut, Upaya peningkatan infrastuktur dan pelatihan bagi guru di daerah yang tertinggal harus di intensifkan.
Kesimpulannya, sementara sistem zonasi dalam PPDB dapat memiliki niat baik untuk meratakan akses Pendidikan, kita tidak boleh mengabaikan kenyataan kompleksitas kesenjangan Pendidikan dan infrastuktur di daerah. Dua jurnal di atas dapat memberikan wawasan yang mendalam tentang tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan sistem zonasi ini. Oleh karena itu perlu adanya evaluasi dan solusi yang lebih baik dalam penerapan sistem zonasi ini agar tidak memicu adanya ketidaksetaraan Pendidikan yang lebih besar lagi kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H