Hanan berjalan pelan di antara reruntuhan rumahnya di Gaza Utara. Tangannya menyentuh dinding yang tersisa, matanya mencari jejak kenangan. Setahun lalu, rumah ini penuh tawa keluarganya. Kini, hanya puing dan debu yang tersisa.
Di dekatnya, seorang anak kecil, Yasir, menggenggam erat tangan ibunya. "Ibu, kapan Ayah pulang?" tanyanya polos. Sang ibu menatapnya dengan mata berkaca-kaca, mencoba tersenyum, meski hatinya hancur. Ayah Yasir telah hilang sejak serangan terakhir.
Hanan mendekati mereka, mengelus kepala Yasir. "Ayahmu pasti ingin kau kuat, Nak." Yasir mengangguk, menggenggam lebih erat tangan ibunya.
Di kejauhan, suara truk bantuan terdengar. Harapan kembali muncul. Mereka akan membangun kembali---dengan tangan sendiri, dengan semangat yang tak akan padam. Gaza akan hidup lagi.
Hari-hari berikutnya, Hanan bersama para tetangga mulai membersihkan puing-puing yang berserakan. Para pria mengangkat balok-balok yang tersisa, sementara wanita dan anak-anak membantu dengan apa yang bisa mereka lakukan. Yasir ikut berlari-lari kecil membawa botol air bagi mereka yang bekerja. Meskipun lelah, semangat tetap menyala.
Malam itu, Hanan duduk di dekat api unggun bersama ibunya. "Aku takut, Ibu. Takut kehilangan lagi," ucapnya lirih. Sang ibu merangkulnya erat. "Tak ada yang bisa menjamin masa depan, Nak. Tapi kita masih punya harapan. Dan harapanlah yang membuat kita bertahan."
Di seberang jalan, Yasir tertidur dalam pelukan ibunya. Sesekali ia menggumamkan nama ayahnya dalam tidurnya. Hanan tersenyum pahit. Jika Tuhan mengizinkan, ia berjanji akan menjaga Yasir seperti saudaranya sendiri.
Waktu berlalu. Dengan bantuan organisasi kemanusiaan, beberapa rumah darurat mulai dibangun. Hanan kini bekerja di dapur umum, memasak makanan bagi keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal. Meski sederhana, makanan itu membawa kehangatan di tengah musim dingin yang menusuk.
Pada suatu hari, kabar datang bahwa sebagian tahanan akan dibebaskan dalam perundingan damai yang baru saja diumumkan. Hanan berlari ke tempat ibunya dengan napas memburu. "Ibu! Mungkin Ayah Yasir ada di antara mereka!" Yasir yang mendengar itu segera bangkit, matanya berbinar penuh harapan.
Hari pembebasan tiba. Ratusan orang berkumpul di titik pertemuan. Satu per satu nama-nama dibacakan, dan para tahanan muncul dari dalam bus dengan wajah lelah namun penuh sukacita. Yasir berjinjit mencari wajah ayahnya di antara kerumunan. Waktu seolah berjalan lambat.