Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Andalas

Menulis untuk kesenangan dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berpakaian Adat di Sekolah, Lamunan Pak Guru Sutan Mudo

19 April 2024   18:09 Diperbarui: 20 April 2024   21:12 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Screen shot kk.jpg (800800) (wp.com) 

Pak Sutan Mudo, seorang penghulu suku di Minangkabau yang juga merangkap sebagai kepala sekolah, berdiri di depan cermin dengan senyum mengembang. Hari itu, ia mendapat kabar bahwa pemerintah akan mewajibkan semua sekolah untuk mengenakan pakaian adat satu hari bagi para siswa sekolah setiap minggunya.

Sambil melamun dengan tongkat kebesaran di tangan, ia membayangkan dirinya berjalan di koridor sekolah dengan pakaian adat Minangkabau, lengkap dengan celana songket hitam berkilau dan baju silungkang yang gagah. Dia tersenyum gagah sambal menyapa sejawat dan murid-muridnya.

Ia tertawa kecil, membayangkan para ibu guru dengan "katuluak bikek" mereka, berjalan dengan anggun di antara deretan papan tulis dan buku pelajaran. "Pasti akan jadi pemandangan yang menarik," gumamnya.

Sebagai seorang Muslim, Pak Sutan bersyukur bahwa pakaian adat Minang sudah sesuai dengan prinsip menutup aurat. Namun, ia juga memikirkan keadilan. "Jika murid-murid harus mengenakan pakaian adat, maka para guru dan staf administrasi juga harus," pikirnya, membayangkan seluruh sekolah berubah menjadi panggung budaya yang hidup.

Tiba-tiba, pikirannya melayang ke sahabatnya yang mengajar di pedalaman Papua dan Bali. Ia membayangkan sahabatnya yang biasanya mengenakan kemeja dan celana panjang, harus beradaptasi dengan pakaian adat setempat yang jauh lebih terbuka. "Bagaimana mungkin Pak Doni yang orang  Minang mengajar matematika sambil mengenakan koteka, atau Bu Siti yang orang Maksara mengajar bahasa Indonesia dengan kebaya yang hanya menutupi separuh tubuh?" gumamnya sambil menggelengkan kepala.

Pak Sutan membayangkan hari pertama penerapan kebijakan tersebut. Murid-murid datang dengan berbagai pakaian adat dari seluruh nusantara, dari Ulos Batak yang berwarna-warni hingga sarung Bugis yang elegan. Sekolah yang biasanya penuh dengan seragam putih abu-abu kini berubah menjadi kaleidoskop budaya.

Namun, tidak semua berjalan mulus. Pak Sutan terkejut ketika melihat Pak Budi, guru olahraga, mencoba melakukan pemanasan dengan ikat kepala Dayak yang terlalu ketat, hingga wajahnya memerah. Sementara itu, Bu Lestari, guru biologi, tampak kesulitan menjelaskan tentang fotosintesis sambil memakai kebaya yang terlalu sempit.

Di ruang guru, diskusi hangat terjadi. "Bagaimana kita bisa menyesuaikan pakaian adat dengan aktivitas mengajar yang nyaman?" tanya Bu Anita, guru seni. "Mungkin kita perlu versi modern dari pakaian adat," usul Pak Joko, guru sejarah, sambil menyesuaikan blangkonnya yang terus melorot.

Pak Sutan hanya tersenyum melihat kebingungan yang terjadi. Ia tahu bahwa kebijakan ini baik dalam mempromosikan kebudayaan, tetapi juga menyadari bahwa praktiknya mungkin memerlukan sedikit penyesuaian. "Mungkin kita bisa mulai dengan 'Jumat Berbudaya', di mana kita mengenakan pakaian adat hanya pada hari Jumat," usulnya.

Semua guru menyetujui ide tersebut dengan lega. Sekolah kembali tenang, dan Pak Sutan kembali ke cermin, memperbaiki songkoknya yang miring. "Ah, betapa indahnya keberagaman Indonesia," pikirnya, sambil bersiap menghadapi hari yang penuh warna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun