Amran duduk di ruang tengah rumahnya di Nagari Ampuah, Ranah Minang. Dia merenungkan kejadian tragis yang baru saja terjadi di sekitar Gunung Marapi. Meskipun dia tidak terdampak langsung oleh banjir lahar dingin, dampaknya terasa di seluruh wilayah. Rumahnya yang terletak agak jauh dari kaki gunung itu masih aman, tetapi kisah sedih warga sekitar membuatnya terpukul.
Tengah hari sudah hampir tiba, dan Amran merasa perlu bergerak. Dia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas. Pikirannya melayang pada rencana dagangannya hari ini. Dia telah bersiap sejak pagi, menyiapkan dagangan yang akan dijualnya di pasar tradisional. Namun, dengan semua kejadian yang terjadi belakangan ini, dia merasa ragu.
"Apakah aku harus tetap melanjutkan dagangan hari ini?" gumam Amran sendiri.
Namun, di tengah pertimbangan itu, suara gemuruh mendekat dari luar. Amran melangkah ke teras rumahnya dan melihat langit yang gelap. Mendung hitam menutupi langit, dan petir menyambar di kejauhan. Dia merasa hujan deras akan segera turun.
"Ah, ini pasti akan hujan lebat dan tidak baik bagi daganganku," desah Amran.
Dia pertimbangkan bahwa ada yang lebih penting dari sekadar dagangan. Warga sekitar masih berjuang untuk membersihkan rumah mereka dari lumpur dan puing-puing, sementara Amran berpikir untuk melanjutkan berjualan. Dia merasa malu dengan dirinya sendiri.
Amran kembali ke dalam rumah dan memutuskan untuk menunda dagangannya hari ini. Dia tahu bahwa banyak yang masih membutuhkan bantuan, dan dia tidak bisa tinggal diam. Dengan cepat, dia mengambil mantel hujan dan payungnya, serta beberapa barang makanan dan minuman yang bisa dia bagikan kepada mereka yang membutuhkan.
"Uda, kamu mau pergi?" tanya istrinya, Nita, yang mengamati gerak-gerik suaminya.
Amran mengangguk. "Iya, Nita. Aku pikir aku harus membantu mereka di luar. Masih banyak yang membutuhkan pertolongan."
Nita tersenyum bangga. "Baiklah, tapi jangan sampai kau terlalu lama di luar. Aku khawatir tentang keadaanmu."