Di sebuah nagari yang hijau di Pariaman, Ajo dan beruknya, Kelap, telah menjalin persahabatan yang lebih dalam daripada sekadar pemilik dan hewan peliharaan. Kelap bukan hanya beruk bagi Ajo; ia adalah teman yang telah mendampinginya selama lebih dari lima tahun, menjadi saksi bisu atas suka dan duka yang dialami bersama.
Setiap hari, mereka berdua bekerja sama dengan sempurna, Kelap dengan lincahnya memanjat pohon kelapa, dan Ajo dengan sabar menunggu di bawah, mengumpulkan hasil panen.
Namun, keharmonisan ini terancam ketika Pak Jawa atau Si Mas, seorang pengusaha dari kota Padang, datang dengan tawaran yang menggiurkan.
Ajo merasa hatinya terbelah; di satu sisi, uang yang ditawarkan Si Mas bisa mengubah hidupnya, tetapi di sisi lain, melepaskan Kelap berarti kehilangan sebagian dari jiwanya.
*****
Pada hari penjualan, Ajo merasakan setiap detik berlalu seperti jam pasir yang tak terhenti. Saat Kelap dibawa pergi, air mata kesedihan dan kehilangan mengalir di pipi Ajo.
Kelap sendiri tampak bingung, matanya mencari-cari sosok Ajo yang selama ini menjadi dunianya.
Si Mas, dengan penuh semangat, membawa Kelap ke kebun kelapanya yang luas. Namun, ia segera menyadari bahwa komunikasi bukanlah sesuatu yang bisa dibeli dengan uang.
Perintah dalam bahasa Jawa yang ia berikan hanya menimbulkan kebingungan pada Kelap. Setiap upaya Kelap yang salah hanya menambah rasa frustrasi si Mas, dan harapan untuk keuntungan yang melimpah perlahan memudar.
Dalam keputusasaannya, si Mas menyerahkan Kelap kepada Pak Payo, seorang petani dari Payakumbuh yang dikenal akan kebaikannya. Pak Payo menyambut Kelap dengan tangan terbuka, berharap dapat memulai lembaran baru.