PengantarÂ
Tradisi memasak rendang menjelang bulan Ramadhan merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya Minangkabau. Bagi masyarakat Minang, rendang atau randang bukan sekadar hidangan lezat, tetapi juga simbol kebersamaan, kehangatan, dan rasa syukur menyambut bulan suci.
Tulisan ini akan mengupas tradisi ini lebih dalam, dengan menitikberatkan pada pengalaman pribadi penulis dan menambahkan data serta informasi untuk memperkaya narasi.
Persiapan Memasak Rendang
Dua hari sebelum Ramadhan, istri saya mulai bersiap memasak rendang. Awalnya, kami berencana menggunakan daging sapi segar, namun harga yang tinggi (lebih dari Rp 130.000 per kilogram) membuat kami memilih daging beku sebagai alternatif yang lebih ekonomis.
Setelah mencari di internet, istri saya menemukan daging kerbau beku impor dari India dengan harga di bawah Rp 100.000 per kilogram.
Tanpa ragu, ia pergi ke Jl. Perak, pusat kota Padang, untuk membeli 3 kilogram daging.
Biasanya, rendang yang kami buat dinikmati oleh lima anggota keluarga, namun karena dua anak laki-laki kami merantau, kami hanya menyantapnya bertiga dengan anak bungsu kami yang perempuan.
Anak sulung kami telah bekerja di Yogyakarta selama hampir dua tahun, sementara yang kedua sedang menempuh pendidikan semester 6 di Politeknik Negeri Batam.
Sejak saat itu, istri saya memiliki rutinitas baru di awal Ramadhan: mengirimkan rendang ke anak kedua yang kos di Batam, dan memasak untuk keluarga di Padang.
Anak sulung tidak mendapatkan kiriman rendang karena lebih memilih membeli makanan siap saji dan setiap saat dia bisa makan rendang di sana. Tetapi randang masakan umi tetap istimewa katanya.