Banyak paradigma yang berkembang di kalangan orangtua, mahasiswa semester awal sampai yang nyaris DO, bahkan masyarakat umum yang (katanya) melek pendidikan, berlomba mengkritisi dan mengomentari (biasanya tanpa tindakan) tentang kualitas dan orientasi pendidikan bangsa kita. Yang ini benar - itu salah, yang itu mencerdaskan - ini pembodohan, blablabla. Sementara para penggiat pendidikan yang ‘beres’ terus memperjuangkan sistem pendidikan agar lebih baik. Mungkin tidak terasa memang, sebab banyak dari mereka bekerja dibalik layar, atau justru kecewa dengan pemerintah yang omong doang tentang konsep mencerdaskan bangsa lalu memilih keluar negeri mencerdaskan bangsa lain.
Semalam saya bertemu dengan beberapa penggiat pendidikan dan dosen serta salah satu rektor Universitas swasta di Makassar. Kami berdiskusi tentang implementasi pendidikan di Indonesia dewasa ini. Setelah ngomong tinggi-tinggi, akhirnya saya bertanya pada mereka; "wajah suatu negara bergantung dari kualitas pendidikan dan karakter bangsanya, lalu sebenarnya apa yang salah di Indonesia?" Salah satu teman diskusi saya, seorang dosen dari Universitas swasta di Jakarta, Drs. Romanus, S.Fil, M.Si, hanya menjawab satu kata: akhlak.
Seberapa sering kita mendengar berita kasus korupsi? Seberapa sering kasus pelecehan seksual terhadap anak kita baca di koran-koran? Berapa banyak dari kita tetangganya menjadi pelaku perampokan, pembunuhan, atau maling ayam? Mulai dari yang berpendidikan tinggi dengan title depan-belakang-atas-bawah, sampai yang cuma tamatan SD sama-sama mencuri, sama-sama meresahkan, sama-sama bikin malu keluarga. Akhlak. Satu komponen dari diri manusia yang mayoritas terabaikan.
Saya bercermin dari kehidupan di rumah. Entah sejak kapan hal ini terus mengganggu bathin saya, tapi penanaman nilai-nilai agama yang keras sebenarnya tidak membantu seorang anak menjadi penurut dan menjamin mereka menjadi sholeh/sholeha. Apa yang salah? Apa benar ini masalah benar dan salah? atau sekedar mencari kambing hitam agar yang lain bisa tenang?
Seorang anak sedari kecil ketika mulai belajar merangkak dan memasukkan semua benda ke dalam mulutnya, harus mendengar kata ‘tidak’ dan ‘jangan’. Mental bawah sadar seorang balita membentuk batasan-batasan yang sebenarnya mereka belum pahami. Terekam di naluri mereka ketika melihat benda asing kemudian mencoba untuk dieksplorasi, suara mama atau papa akan selalu sama; ‘tidak’ dan ‘jangan’. Ketika mereka mulai membaca dan mempelajari pola, muncul sikap jahil anak yang sengaja melakukan hal-hal yang bereaksi ‘tidak’ dan ‘jangan’ menjadi hal yang menarik untuk dilakukan. Jadilah anak tersebut dicap sebagai anak nakal dan bandel. Semudah itu anak dikatakan nakal hanya karena rasa penasaran mereka. Lalu bagaimana kita orang dewasa yang penasaran terhadap suatu hal? Apakah kita nakal? Bandel?
Saat menginjak pendidikan sekolah dasar,anak mulai dicekoki nilai-nilai agama. Biasanya disuruh mengaji dan shalat maghrib di mesjid. Beruntung jika punya orangtua yang shalat di rumah. Mayoritas dari kita tahu, pendidikan dan pengetahuan terdekat dan terefektif yang didapatkan seorang anakadalah di lingkungan terdekat mereka; di rumah. Di sekolah mereka belajar dari pagi hingga siang, sore ada les tambahan, malam kerja PR. Aktifitas monoton sering kali membuat anak jenuh. Mereka yang masih ingin ‘bermain tanah’ malah disuruh les matematika lah, les biologi lah, dan sebangsanya. Sehingga ruang bagi anak mengeksplorasi dirinya dan alam menjadi semakin sempit. Jadilah mereka bolos.
Dalam dialog lainnya saat membahas maraknya pelecehan seksual terhadap anak, sebuah riset membuktikan; tempat teraman bagi seorang anak bukan di rumah atau di sekolah, tapi di ruang antar kedua tempat tersebut. Hal ini kembali diperkuat dengan hasil evaluasi di beberapa sekolah dasar yang memberi data bahwa frekuensi siswa yang bolos meningkat tiap tahunnya. Ironis memang, anak justru merasa lebih aman di jalanan, di bawah pohon samping gardu listrik, di bawah jembatan dengan loper koran, ketimbang di sekolah dengan guru-gurunya atau di rumah dengan orangtuanya.
Dengan begitu banyak kata ‘tidak’ dan ‘jangan’ (mungkin lebih banyak ketimbang uang jajan mereka), anak menjadi apatis. Kritis tapi pesimis. Mulai bingung harus ke sekolah atau nongkrong di mall, kerja PR atau main game. Lagi-lagi, orangtua mulai menanamkan kata baru yang tidak kalah bombastisnya; ‘anak bodoh’.
Memasuki jenjang perguruan tinggi, anak mulai mencicipi organisasi. Menilik dari riwayat suram si anak yang dicap nakal, bandel plus bodoh, mereka mulai mencari pembelaan, rasa penerimaan, diakui, kesempatan show off dan digandrungi mahasiswi fakultas seberang. Kalau kalian termasuk mahasiswa yang berorganisasi saya jamin saat masuk pertama kali, para senior dan pembina akan berkata; "di kehidupan kerja nanti, skill berorganisasi lebih diperlukan ketimbang ilmu yang didapat di ruang kelas." Yakin dan percaya 80% dari mereka nyaris drop out!
Si anak mulai ikut kajian, debat, diskusi, demonstrasi. Mendahulukan organisasi ketimbang pergi asistensi. Ada yang muncul dan hilang dari diri si anak. Rasa penerimaan dan kesempatan yang tidak diberikan sebelumnya, menjadi hal positif jangka pendek yang JIKA disadari dengan berbekal mental ‘tidak’ dan ‘jangan’ tadi menjadi bumerang raksasa baginya.
Disinilah peran akhlak tadi berkerja. Kecenderungan seorang anak akan menjadi apa, tidak melulu hanya dari kemampuan intelektualnya saja. Tidak pula hanya dari kemampuan dan wawasan sosialnya. Jika keduanya tidak diiringi akhlak, nilai-nilai moral dan kultur bangsa, satu lagi kita mencetak produk gagal sumber daya manusia. Orang cerdas yang melakukan kejahatan sudah pasti akan melakukan kejahatan paling keji. Seseorang yang berintelektual tapi tidak berakhlak adalah perusak bangsa paling mujarab.
Dan jangan salahkan orangtua si anak tadi karena telah mencetak koruptor dan pembunuh jutaan perut orang miskin. Paham masyarakat tentang peran sebagai orangtua merangkap khalifah di bumi mungkin belum tertanam pasti. Hal ini berkembang dan tumbuh di dekat kita, di nadi kita, di samping kamar kita, di depan mata kita. Suka tak suka. Rela tak rela.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H