Ada yang ikut membeku bersama embun kali ini. Aku yang terbangun dengan segala getir dan hawa dingin, mencoba menarik selimut, mencari kantuk yang tak kunjung. Air mata ini tak ubahnya jarum-jarum yang siap turun menghujam jantung.
Kamu terlampau jauh. Tak sejauh bintang-bintang di angkasa, atau matahari di ubun-ubun kepala, tapi cukup jauh untuk melihat bagaimana mimpi bisa begitu nyata saat kau tak ada. Ya, mungkin kamu sejauh mimpi, yang hanya bisa kutemui sekali sehari. Maka Tuhan tahu pasti apa doaku sebelum tidur. Aku yakin kamu pun sedang tersenyum.
Aku melihatmu ketakutan.
Dalam mimpi, kamu terus memanggilku – yang hanya sejengkal dari hidungmu. Tapi wajah itu jelas ketakutan. Tanganmu dingin seperti es, wajahmu sepucat dinding kamar. Kamu berkata akan hilang. Kamu tak mau. Kamu takut. Kamu ragu. Aku hanya tersenyum menggenggam tanganmu dalam diam, mencium punggungnya. Tak ada kata-kata yang terucap, tak satupun, hanya mengangguk mafhum.
Tak ada spasi untuk mengingkari, juga jeda untuk sekedar mengisi kembali, semuanya dimonopoli oleh waktu – yang tak pernah mau mendeklarasikan persahabatan dengan kita. Senang menyadari: kita masih hidup.
Katamu, kita bukan manusia biasa. Lucu, karena aku tidak pernah menganggap diri sebagai manusia. Aku hujan, aku angin, aku cicak di dinding – yang bisa muncul kapan saja di tempatmu dimana pun berada.
Aku paham ketakutanmu. Sejak kamu memutuskan hanya hadir dalam mimpi, ribuan surat kutulis berisi air mata, rindu, cinta, dan rasa yang terus tumbuh di atas kepalaku, yang tak pernah kamu bayangkan besar dan banyaknya.
Kelak akan kamu temukan, saat mimpiku tak lagi berisi aku. Hanya kamu, dan surat-surat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H