Mohon tunggu...
Aulia Arindi Ade
Aulia Arindi Ade Mohon Tunggu... -

A journey of non stop growth.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lampu

24 Februari 2015   15:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:36 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terpaksa tidur dengan lampu yang masih menyala. Tanganku rapat memegang lutut, menyembunyikan kepalaku sedekat mungkin dengan perut.

Malam kian dingin, menghembuskan angin beku dari ventilasi. Hujan malam ini tak kunjung reda. Aku berkali-kali nyaris mematikan satu-satunya sumber cahaya di ruangan itu, sebuah lampu tidur redup yang sedari tadi kuperhatikan nyalanya, seolah ia adalah alasan aku masih bernyawa. Aku ingin lebur dalam gelap. Tak peduli jika itu artinya harus ikut mati bersama lampu tidur.

---

Pukul 12 malam. Suara jangkrik minta kawin bergema dari luar. Mataku yang masih awas tak hentinya melihat layar ponsel, berharap satu saja tanda-tanda darimu di ujung sana mencemaskanku yang sedang mencemaskanmu. Hanya sebuah kecupan singkat tadi pagi yang kujadikan obat berkali-kali – yang nyaris kehabisan energi.

Saya ingat satu waktu dimana kamu pulang terlalu malam. Menggosokkan wajahmu di pundakku, tertidur di sana. Tanganmu dingin seperti es, wajahmu kelelahan, matamu merah sebelum akhirnya jatuh terlelap. Sesulit ini kah, Sayang?Pertanyaan itu muncul kembali malam ini. Alih-alih memelukku hingga tertidur, pulang seperti pekerja pada umumnya pun harus kuhempaskan jauh-jauh. Serupa mimpi teramat muluk yang aku yakin tak akan pernah hadir dihidupku. Kita memilih begini. Hidup berbeda.

Saya hapal benar saat seperti ini. Sekadar membunuh waktu yang berjalan pelan saat kamu tak ada. Mengingat kembali bagaimana aku yang dulu terus kamu yakinkan – bahwa sungguh yang kamu tawarkan tak pernah terasa biasa. Tidak seperti lelaki pada umumnya yang menjanjikan kehidupan serupa kisah akhir dongeng anak-anak, kamu membawaku terbang tidak terlalu tinggi. Kaki-kaki kita masih berpijak di bumi, mengajarkan agar tetap rendah hati. Katamu, kita jangan lupa diri, lupa sejarah kita masing-masing.

“Takdir kita sama, dengan tugas yang berbeda,” katamu.

“Tahu darimana?”

“Saya tidak tahu, saya yakin.”

“Termasuk saat ini? Bersamaku?”

Kamu mengangguk. Menatapku lekat dengan wajahmu yang nyaris membuatku kehilangan segala logika. Tidak, aku tak boleh hanyut!,pikirku.

“Kamu hanya belum yakin dengan kemampuanmu sendiri,” jelasmu. “belajarlah menerima, lihat pertanda. Percaya.”

“Memangnya aku bisa apa?”

Kamu memelukku dengan matamu, mungkin sedikit kasihan. Kamu tidak menjawab, hanya menatap dengan wajah yang setengahnya disinari lampu jalan.

Aku tersenyum mengingatnya. Mungkin saat itu kamu tak tahu satu hal: Aku sulit mencintai. Butuh terbang ratusan kilometer jauhnya untuk berpikir saat kamu datang merekonstruksi ulang segala keteraturan yang kubangun bertahun-tahun. Kamu datang dengan godam dan gambar sketsa baru di tanganmu. Tidak mudah, memang. Berkali-kali aku nyaris menyerah. Kamu begitu sabar. Dengan segala keterbatasan ruang dan waktu yang kamu punya, dengan segala usaha yang sanggup kamu toleransi, kamu membuktikan bahwa musuh terbesar adalah diri sendiri.

Ratusan cangkir kopi terpakai sudah untuk membuat kita tetap terjaga. Menemanimu menjagaku dengan caramu sendiri, dan membuatku tetap sadar menyaksikanmu mengawasiku. Ada paradoks panjang tanpa ujung sedang bermain di atmosfer kita, menepuk setiap bintang yang bersinar terlalu terang, tergantikan biasnya bulan yang menerangi tanpa tendensi. Meski lampu itu masih menjadi tanda aku masih terjaga – tanda kamu akan menemukan pundak yang menunggumu terlelap di sana, kali ini tak kutemukan kopi yang tepat untuk membuatku tetap sadar. Rasa kantuk pun menguap sudah. Tak kutemukan lagi bedanya sadar dan mimpi.

“Sudah dekat rumah. Masih bangun?”, satu pesan singkat darimu menghancurkan keenggananku pada pendar lampu itu.

Kutegakkan badan, menyalakan lampu depan rumah – agar saat datang nanti kamu tahu aku masih menunggu, seperti selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun