Mohon tunggu...
Aulia Arsil
Aulia Arsil Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Muhammadiyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Emosi Marah pada Manusia

7 Juli 2021   13:03 Diperbarui: 7 Juli 2021   13:05 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak lahir manusia dibekali dengan kemampuan untuk merasakan berbagai macam emosi (Nadhiroh, 2015). Semua interaksi sosial akan memunculkan emosi dalam diri setiap individu (Al Baqi, 2015). Menurut Lewis & Jones pada tahun 2000, emosi bisa menentukan sikap dan pikiran sehingga inividu mampu bertindak sesuai kemauannya (Al Baqi, 2015). Mashar juga mengatakan dalam (Nadhiroh, 2015) emosi terdiri dari 2 jenis, primer dan sekunder. Emosi primer mempunyai 6 macam yaitu; kegembiraan, ketertarikan, marah, sedih, jijik dan takut. Sedangkan macam-macam emosi skunder merupakan gabungan antar sesama emosi primer dan adanya campuran dari lingkungan dan budaya sekitar, misalnya; bangga, malu, cemas, bersalah, dan lain-lain.

Goleman mengatakan, emosi berasal dari bahsa latin yaitu emovere yang berrati bergerak menjauh, merupakan suatu perasaan yang kekhasannya berada dalam perubahan biologis dan psikologis seseorang, dan cendrung untuk bertindak (Yassar, 2018 ). Dari sudut pandang mentalnya, emosi adalah suatu keadaan yang ditonjolkan dengan perasaan kuat kemudian menciptakan perubahan tingkah laku pada individu tersebut (Nadhiroh, 2015). Emosi muncul sejak kita lahir, dan akan berkembang karena adanya rangsangan, pengalaman sehari-hari akan mempertajam kepekaan dan ketepatan suatu emosi dalam mengekspresikannya (Al Baqi, 2015).

Banyak individu mulai dari anak-anak sampai bahkan dewasa masih sulit mengungkapkan secara lisan tentang marah yang dirasakan (Al Baqi, 2015). Ada yang pandai dalam hal menyimpan dan menahan emosi, ada yang bar-bar dan kurang mampu untuk mencegahnya. Duffy mengatakan, hal inilah yang disebut emotionally illiterate atau kebutaan emosi yang diiringi dengan kurangnya kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan amarah yang dapat diterima oleh sosial (Al Baqi, 2015).

Emosi terjadi pada otak pada bagian sistem limbik, berada dalam hemisfer serebrum (otak besar) yang bertugas untuk pengaturan emosi. Hippocampus yang menjadi salah satu bagiannya menjadi tempat berlangsungnya proses pembelajaran dan penyimpanan emosi. Selain itu, amigdala berperan sebagai pusat pengendalian emosi yang kita alami (Yassar, 2018).

Salah satu bentuk emosi yaitu marah dapat menimbulkan perilaku yang agresif. Ini disebabkan hormon testosteron di dalam diri manusia, terutama pada pria (Kalat, 2019). Itu sebabnya, para pria lebih sering untuk adu tangan ketimbang menyelesaikan pakai kepala dingin, daripada wanita. Melakukan kekerasan, berteriak sambil menghina dan sebagainya. Archer juga mengatakan bahwa pria dewasa muda yang memiliki kadar testosteron yang paling tinggi, memiliki tingkat perilaku agresif dan kejahatan kekerasan tertinggi (Kalat, 2019).

Mereka yang memiliki hormon testosteron yang lebih tinggi itulah cendrung memiliki sikap agresif, tetapi sikap agresif tidak berkorelasi kuat dengan bahan kimia apapun. Biasanya, yang memfasilitasi perilaku agresif, dominan, dan arsetif itu adalah ledakan tiba-tiba dari testosteron (Kalat, 2019). Menurut Kazen, et al (dalam Kalat, 2019) juga mengatakan yang bisa meredakan kemarahan ini adalah hormon kortisol, juga disaat yang bersamaan akan meningkatkan kecemasan pada seseorang. Dalam buku Kalat (2019) mengatakan bahwa kortisol yang rendah berarti berkurangnya ketakutan akan konsekuensi berbahaya, sedangkan testosteron yang tinggi akan meningkatkan kesenangan, ini akan menimbulkan perilaku agresif yang beresiko.

Ada banyak cara dalam mengendalikan marah. Al-Qur’an pun memiliki beberapa ayat yang mengingatkan manusia untuk senantiasa mengendalikan emosinya. Hube mengatakan dalam (Diana, 2015) ada 3 model pengendalian emosi yang dilakukan oleh seseorang:

  1. Pengalihan (Displacement); ada katarsis atau perumpamaan yang sering disebut “ventilasi”. Seseorang bisa menyalurkan rasa marah mereka dengan menulis, memukul samsak, dan tidur. Selanjutnya ada rasionalisasi dari Atkinson dan Hilgard pada tahun 1991 mengatakan bahwa hal ini akan tercapai jika seseorang dapat memetik hikmah baiknya atas setiap kejadian, sesuai dengan isi kandungan Q.S. An-Nisa:79, dan Q.S. Ali-Imran:91. Lalu yang ketiga ada zikrullah, mengingat Allah sambil mengucapkan kalaimat thayyibah, do’a, maupun membaca Al-Qur’an.
  2. Penyesuaian Kognitif (Cognitive Adjustment): yang pertama ada astribusi, melihat suatu masalah dari sisi positifnya, walau tetap saja pasti ada sisi negatif. Empati, kesadaran untuk turut dalam merasakan dan memahami perasaan orang lain. Dan altruisme, memberi pertolongan pada orang lain tanpa pamrih, kecuali untuk mengharap ridho kepada Allah SWT.
  3. Coping Strategy: ada 2 strategi dalam coping, emotional focus copying atau fokus dalam penanggulangan emosi yang dirasakan. Dan problem focus copying atau fokus untuk menanggulangi masalah yang sedang dihadapi. Dalam Islam ada 2 mekanisme untuk mengendalikan masalah yaitu sabar-syukur dan memaafkan.

REFERENSI:

Al Baqi, S. (2015). Ekspresi Emosi Marah. Buletin Psikologi, 23(1), 22-30. https://jurnal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/10574/7969.

Diana, R. (2015). Pengendalian Emosi Menurut Psikologi Islam. Unisia, 37(82), 41-47. DOI: 10.20885/unisia.vol.37.iss82.art5.

Kalat, J.W. (2019) Biological Psychology. (13th ed., p.389). Cangage.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun