Mohon tunggu...
Aulia AkbarMadani
Aulia AkbarMadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sultan Agung dan Kepemimpinannya

30 April 2021   22:53 Diperbarui: 30 April 2021   22:55 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jauh sebelum adanya kemerdekaan, bahkan sebelum bangsa Indonesia terbentuk, kerajaan-kerajaan di nusantara telah melakukan berbagai interaksi dengan bangsa lain. Hal ini dilakukan dengan beberapa motif seperti perdagangan, penyebaran agama, dan sebagainya. Interaksi antara bangsa Indonesia dengan bangsa lain pada saat itu sangat dipengaruhi oleh letak geografis yang sangat strategis. Indonesia menjadi pusat perdagangan dengan banyak pelabuhan yang menjadi tempat bertemunya para pedagang, baik dari Asia maupun Eropa. Selain itu, sebagai salah satu daerah penghasil rempah terbesar pada saat itu, tentu menarik banyak pedagang maupun kerajaan dari berbagai belahan dunia untuk melakukan kerja sama ekonomi. Tidak hanya dalam bidang perekonomian, hubungan diplomatik juga dapat kita lihat dalam bidang kebudayaan dan keagamaan.

Sudah begitu banyak cerita tentang kedatangan bangsa asing, salah satu yang terkenal dan yang sebelumnya kita bahas yaitu kisah Sultan Agung dari Mataram. Beliau dengan baik membangun hubungan diplomasi dengan kerajaan lain di dunia. Berkat pengalaman selama kepemimpinannya tersebut, beliau tidak terjatuh dalam tipu muslihat VOC yang hendak memonopoli kekayaan alam kerajaannya dan justru menunjukkan perlawanan dengan melakukan penyerangan ke VOC di Batavia. Hal ini menunjukkan begitu besarnya peran seorang raja atau pemimpin pada saat itu sebagai pengambil kebijakan untuk melakukan hubungan diplomatik. Salah satu pemimpin yang sangat berani ialah sultan agung adu prabu hanyakrakusuma sebagai pemimpin kerajaan mataram.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma merupakan sultan ke-3 dari Kerajaan Mataram yang menjabat dari tahun 1613-1645. Pewaris sebenarnya dari Kerajaan Mataram ini bukanlah Raden Mas Rangsang, melainkan saudaranya yaitu Adipati Martopuro. Adipati Martopuro memiliki penyakit saraf yang menyebabkan tahta kerajaan dialihkan kepada Raden Mas Rangsang. Diceritakan dalam film yang berjudul "Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, dan Cinta" Sultan Agung atau Raden Mas Rangsang merupakan sosok yang tegas, berwibawa, bijaksana, pemberani, cerdas, pantang menyerah dan nasionalis.

Selama film ini berlangsung, ada beberapa sentuhan diplomatik yang terjadi. Salah satu contohnya, ketika VOC mengirimkan utusan mereka untuk menawarkan kerjasama terhadap Kerajaan Mataram. Disini kecerdasan dan ketegasan dari seorang Sultan Agung diperlihatkan, dimana Dia melihat banyak kerajaan-kerajaan yang akhirnya runtuh sebab melakukan kerja sama dengan VOC. Kerajaan Jayakarta, Banda, dan Maluku adalah korban dari eksplorasi yang berkedok kerja sama tersebut. Dia mengetahui bahwa inti dari kerja sama tersebut untuk mengekspolrasi sumber daya alam yang dimiliki oleh Kerajaan Mataram, bahkan lebih parahnya menerapkan sistem budak terhadap masyarakat di Mataram. Disini dapat dilihat juga bahwa hubungan diplomatik pada zaman dulu dilakukan dengan saling mengirimkan utusan dalam membuat keputusan. Kewibawaan dari Sultan Agung juga ditunjukan pada saat para utusan hendak pamit pulang. Sultan Agung mengambil semua senjata utusan tersebut dan menjamin keselamatan mereka selama arah pulang.
Sampai pada saat penyerangan terhadap Batavia. Disana terlihat sifat keberanian dan pantang menyerah dari seorang Sultan Agung. Meskipun pada penyerangan pertama pasukannya kalah. Banyak sekali dari pasukan Mataram yang gugur saat melawan VOC dikarenakan kalah dalam segi jumlah maupun alat perang. "MENANG ATAU MATI" merupakan seruan dari Sultan Agung yang memotivasi para pasukannya agar tidak gentar tatkala menghadapi pasukan dari VOC.

Sultan Agung berusaha untuk menjauhkan VOC dari wilayah kerajaannya karena merasa VOC merupakan pihak yang akan menjajah rakyat Mataram dan Nusantara. Namun Sultan Agung tidak langsung menunjukkan bahwa ia menentang VOC, melainkan mengajukan syarat berupa pengenaan pajak sebesar 60% dari setiap penjualan sebagai mahar kerja sama dagang apabila perjanjian kerja sama dagang tersebut ingin dilakukan. Sentuhan diplomatik juga terlihat pada cara VOC dalam membujuk Sultan Agung agar menyetujui penawaran perjanjian kerja sama dagang, dengan pemberian hadiah sebagai persembahan seperti kain sutra, perhiasan, satu peti koin emas dan mutiara. Selain itu, Sultan Agung mendapatkan gelar 'Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram' dari Sultan Murad IV yang diwakilkan SYARIF Mekah, Zaid Ibnu Muhsin Al Hasyimi telah mengukuhkan Sultan Agung menjadi Khalifatulloh Panotogomo yang kelak menjadi gelar Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat (Yogyakarta).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun