Mohammad Natsir bin Indris Suton Saripodo dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 17 Juli 1908 yang bertepatan dengan tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H di Jembatan Berukir Alahan Panjang Minangkabau, Kabupaten Solok Sumatera Barat. Ibunya bernama Khadijah dan ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Sarapido. Mohammad Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga muslim yang taat beragama.
Di tempat kelahirannya, Mohammad Natsir melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama, karna sejak lama tempat kelahiran Muhammad Natsir dikenal sebagai daerah yang mempunyai peranan besar dalam menyebarkan cita-cita pembaharuan islam banyak tokoh di Minangkabau yang mempunyai idiologi pembaharuan islam seperti syaikh Ahmad Khatib dan Buya Hamka. Didaerahnya Muhammad Natsir kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di Pasar Maninjau.
Ketika berusia 8 tahun, Mohammad Natsir mulai sekolah di Holladsch Inlandsche School (HIS) Adabiyah Padang. Hanya beberapa bulan bersekolah di HIS Adabiyah, ia dipindahkan oleh ayahnya ke HIS Solok. Dan setiap sore sehabis pulang sekolah ia mempelajari Al-quran dan ilmu islam lainnya diMadrasah Diniyah yang dipimpin oleh tuanku Mudo Amin.
Setelah tamat dari HIS, pada tahun 1923, Mohammad Natsir meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Ordewijs (MULO) Padang, yaitu sejenis Sekolah Menengah Lanjutan Tingkat Pertama dan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstrakulikuler, yaitu menjadi anggota Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dari perkumpulan JIB (Jong Islamieten Bond) Padang yang diketuai oleh Sanusi Pane.
Pada tahun 1927 ia meneruskan pendidikan formalnya ke Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung dan memilih jurusan Kesusasteraan Barat Klasik. Namun, sesuatu yang tidak terlepas dari semangat jiwanya adalah keinginannya untuk mendalami Islam. Di Bandung, minatnya tentang agama berkembang. Ia kemudian bergabung dengan Persis (Persatuan Islam) Bandung dan mengikuti pengajian-pengajian yang disampaikan oleh Ahmad Hasan tokoh pendiri Persis tersebut.
Kegiatan politiknya menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai Masyumi bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Sukiman dan Mohammad Roem pada bulan November 1945. Ia juga menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) serta dalam kabinet Hatta (1948), Mohammad Natsir ditujuk sebagai Menteri Penerangan.
Ketika terbentuknya negara RIS sebagai hasil perjanjian KMB pada akhir Desember 1949, ia mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS. Mosi itulah yang memungkinkan Indonesia yang sebelumnya menjadi 17 negara bagian kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ide ini tercapai dengan dibentuknya Negara Kesatuan RI pada 17 Agustus 1950. Atas jasanya, ia ditunjuk sebagai Perdana Menteri pertama sejak Indonesia menjadi negara kesatuan oleh Soekarno.
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Soekarno membubarkan Masyumi dan memaklumatkan pengampunan kepadanya. Maklumat tersebut mendorong Mohammad Natsir dan rekan-rekannya untuk kembali ke Jakarta. Namun setibanya di Jakarta ia ditangkap kemudian diasingkan sebagai karantina politik di Batu Malang, Jawa Timur (1960-1962). Ia kemudian dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer Jakarta (1962-1966). Mohammad Natsir dibebaskan oleh pemerintahan Soeharto pada Juli 1966, tanpa melalui proses pengadilan dan satu tuduhanpun kepadanya.
Harapannya menghidupkan kembali Masyumi tidak terwujud. Karena tidak mungkin lagi terjun ke politik, ia mengalihkan jalur dakwahnya dan mendirikan sebuah yayasan dakwah yang bernama Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII). Perjuangannya yang "berpolitik lewat dakwah" melalui DDII ia lakukan sejak awal pemerintahan Soeharto (Orde Baru) sampai akhir hayatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H