Sebenarnya sudah lama saya ingin mampir jalan-jalan ke Candi Belahan (Sumber Tetek) ini. Tapi susah mencari waktu yang tepat. Nah, kemarin Kamis pagi sempat jalan-jalan kesana, hanya untuk melunaskan penasaran sekaligus memberikan pengalaman baru pada Visi anak saya. Supaya tahu bahwa pada abad 11 dulu (Kerajaan Airlangga), ada tempat pemandian selir-selir Raja di sana.
Awalnya saya sempatkan browsing bagaimana gambaran Candi Belahan. Cukup menarik dan lumayan tambah penasaran. Akhirnya, langsung meluncur naik motor bersama suami dan anak. Padahal suami juga nggak pernah kesana. Dari Sempat nyasar ke tempat penambangan pasir yang luas. Wah, terpaksa harus balik lagi dan ambil jalur belok kiri. Karena nggak ada petunjuk jalan sama sekali. Saya jadi sedikit menggerutu. "Gimana kalau ada turis atau wisatawan luar kota yang mau mampir ke tempat bersejarah ini?" . Saya hanya bisa menarik nafas panjang.
Lupakan jalan paving yang nggak rata, tapi setelah meluncur terus, ada pemandangan lereng Gunung Penanggunagan yang indah banget. Sawah ladang dan hutan yang terhampar luas di sana. Â Dan taraaa! Ketemu juga Candi Belahan yang bikin penasaran. Setelah turun dari motor, saya celingukan. Tak ada seorangpun disana! Juga tak ada penjaga loket! Jadi kami masuk gratis. Setelah itu ada nenek-nenek yang membawa botol-botol kosong yang bermaksud untuk mengambil air dari pancuran patung (Dewi Laksmi dan Dewi Sri). Saya bertanya tentang kondisi lokasi yang sepi. Ternyata jawabannya, hanya hari Minggu yang suasananya ramai dan penuh. Saya mengangguk maklum. Saya juga tidak kaget ada beberapa sesajen (bunga-bunga) di tengah-tengan patung. Karena ini hari Kamis.
Setelah mengamati kondisi sekitar Candi, saya sangat kecewa. Ada yang tidak sama dengan gambaran yang ada di internet. Foto-foto yang saya lihat saat browsing, ada taman bunga kecil di depan pemandian (kolam). Tapi sekarang nggak ada lagi taman itu. Jadi kelihatan kering dan berdebu. Ya sudahlah, saya langsung foto-foto saja. Merasakan segarnya air yang mengalir. Melihat beberapa orang kampung sekitar lereng gunung yang mengambil air untuk kebutuhan minum sehari-hari. Juga ada orang mandi di kolam!
Dan apa yang terjadi selanjutnya? Saya celingukan mencari toilet! Dimanakah toilet? Ternyata hanya ada ruangan kecil (tertutup) yang terletak di pinggir jalan (ada tulisan khusus wanita). Saat saya intip, ada beberapa perempuan yang sedang mencuci baju disana . Semua berendam di kolam .Bagaimana saya buang air kecil dengan kondisi begitu? Oh My God! Saya tahu jawabannya. Saya harus menahan pipis sampai pulang. Â Lagi-lagi saya bertanya, bagaimana dengan wisatawan yang datang ke sini? Bukankah toilet adalah fasilitas yang paling penting untuk tempat wisata? Tapi saya sadar, masuk gratisan saja minta macam-macam. Hahaha! Mungkin kalau hari libur, nggak ada orang mandi dan mencuci di sana ya?
Tiba waktunya pulang, suami mengajak pulang lewat jalur yang lain (Desa Wonosunyo). Eh, sebelum beranjak, suami malah dimintai pengunjung untuk berdoa. Ada selamatan! Ada pengunjung yang membawa buah-buahan dan makanan . Senangnya ada beberapa orang yang makan bersama. Lagi-lagi teringat ini hari Kamis.
Meluncur ke Desa Wonosunyo , ternyata pemandangannya juga tak kalah menarik. Saya hanya berharap, pemerintah dan masyarakat lebih peduli lagi pada peninggalan sejarah . Supaya anak cucu kita masih bisa menikmati dan merasakan bagaimana orang-orang jalan dulu bertahan dalam kehidupannya. Supaya bisa memetik hikmah, merambah kisah dan mengasah empati. Selamat liburan panjang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H