Seperti yang kita ketahui bersama, media sosial sudah menjadi salah satu unsur penting dalam bidang komunikasi, penggalian informasi, dan perluasan wawasan yang tidak dapat ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia. Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan bahwa pengguna internet di Indonesia mencapai 63juta orang. Dari angka tersebut,95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial.
Produsen di jejaring sosial adalah orang-orang yang telah memproduksi atau mengunggah sesuatu baik tulisan di blog, foto di Instagram, status di Facebook, cuitan di Twiter, maupun video di YouTube. Selain menjadi produsen, di sisilain kita juga dapat berperan sebagai pembaca dan komentator yang memiliki kebebasan tak berbatas terhadap postingan milik orang lain.Â
Dari kebebasan pada akun media sosial inilah yang menjadi tolok ukur utama bagaimana cyberbullying bermula dan semakin marak terjadi. Tindakan ini bukan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang terdekat korban saja, tetapi juga mereka yang tidak mengenal korban secara real di dunia nyata dapat melakukan cyberbullying karena prespektif buruk yang diberikan kepada korban di dunia maya.
Intimidasi atau penindasan dunia maya (cyberbullying) adalah segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui dunia maya atau internet. Data yang diperoleh UNICEF pada 2016, sebanyak 41 hingga 50 persen remaja Indonesia dalam rentang usia 13 sampai 15 tahun pernah menggalami tindakan cyerbullying. Beberapa tindakan diantaranya adalah doxing (mempublikasikan data personal orang lain), cyberstalking (penguntitan dunia maya), revengepom (penyebaran video dengan motif balas dendam) dan beberapa tindakan cyberbullying lainnya.
Bila ditinjau dari tingginya presentase tindakan cyerbullying, hal ini perlu adanya penanganan dan sebuah tindakan khusus berbasis kesadaran diri. Bukan hanya itu, eksistensi dari masyarakat terutama para remaja, orang tua, pemerintah berwenang, konselor, guru, dan juga figur inspiratif atau teladan bagi para kawula muda juga sangat dibutuhkan untuk menangkal tindakan yang bisa berdampak fatal pada kondisi psikis seseorang tersebut.
Cyberbullying memang tidak menimbulkan luka secara fisik, tetapi dampak yang ditimbulkan dapat berakibat pada kondisi psikis korban yang memburuk. Jika seseorang yang sudah dewasa saja belum tentu tahan terhadap penindasan secara online yang menimpa dirinya terlebih jika yang menjadi korban adalah remaja yang emosinya masih labil. Secara otomatis, ia dapat melakukan tindakan apapun sebagai pelampiasan dari rasa malu dan depresi tinggi hingga kemungkinan terburuk bisa berujung pada tindakan bunuh diri.Â
Sebagaimana yang dialami oleh Yoga Cahyadi, pria asal Yogyakarta yang diduga nekat melakukan aksi bunuh diri dengan menabrakkan dirinya pada kereta api yang tengah melintas. Dilansir oleh CNN Indonesia (10/09/2014) Yoga diduga mengakhiri hidupnya setelah depresi akibat tekanan dan hujatan dimedia sosialnya akibat gagalnya acara Lockstock Fest #2 dimana ia menjadi ketua penyelenggara.Â
Sebelum melakukan aksi tersebut, Yoga sempat menuliskan pesan diakun Twiter-nya yang menunjukkan perasaan tertekannya akibat bullying yang diterima di media sosial. Kasus serupa juga terjadi pada Carlos Vigil, remaja berusia 17 tahun yang memilih bunuh diri setelah tidak tahan terintimidasi selama bertahun-tahun oleh teman-teman sekolahnya di SMA akibat penampilannya dan rumor yang menyebar di media sosial bahwa dirinya adalah seorang Gay.
Kenyataan bahwa media sosial telah menjadi suatu hal untuk berekspresi dan berbagi, menjadikan tindakan-tindakan cyberbullying semakin potensial terjadi dan berdampak serius terhadap kondisi psikis, pola pikir, mental, dan suasana jiwa korban terkait. Pada pelajar, cyberbullying dapat mengakibatkan korban akan mengalami low-achievers, yakni tidak optimal dalam usaha belajarnya.Â
Sehingga suasana kompetitif yang biasanya terjadi dikelas akan hilang, baik kompetisi siswa dengan dirinya sendiri (self competition), kompetisi antar siswa dalam satu kelompok (intragroup competition), maupun kompetisi antar kelompok (intergroup competition).