Sekolah merupakan tempat dimana manusia diharapkan menjadi makhluk yang berbudi, tetapi fenomena kekerasan yang kita lihat akhir-akhir ini membuat kita bertanya-tanya mengapa tempat yang seharusnya menjadi sumber pengetahuan dan kebijaksanaan justru memunculkan banyak peristiwa yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Sebut saja kekerasan antar siswa yang baru-baru ini terjadi, ketika salah seorang siswa SMP menusuk temannya lantaran kesal dia sering dirundung, di hari yang lain kita juga menemukan kekerasan yang dilakukan oleh seorang guru Pendidikan anak usia dini pada muridnya hingga ia mengalami patah tulang, anak tidak dapat menceritakan peristiwa yang terjadi karena kondisinya yang speech delay. Ada pula kekerasan yang dilakukan oleh orang tua murid kepada guru dengan cara mengetapel mata sang guru hingga buta permanen, peristiwa ini ditengarahi karena wali murid yang tidak terima dengan cara guru itu menegur putranya yang merokok. Dan masih banyak lagi deretan peristiwa kekerasan di sekolah yang membuat hati kita miris.
Kekerasan diartikan sebagai sebuah kekuatan atau kekuasaan yang digunakan untuk melukai atau mengintimidasi orang lain. Pengertian ini memberikan gambaran bahwa pada dasarnya kekerasan merupakan sesuatu yang dilakukan dengan sengaja dan menimbulkan kerugian bagi orang lain baik fisik maupun non fisik. Penyebab kekerasan pun beragam, beberapa peristiwa disebabkan oleh guru yang sebenarnya memiliki maksud baik untuk mendidik muridnya namun dilakukan dengan cara yang kurang tepat, tidak disesuaikan dengan karakteristik generasi saat ini atau pun kurangnya pendekatan psikologis dalam pelaksanaannya. Hal ini akhirnya membentuk sebuah pola yang menciptakan " kepatuhan semu" dan searah yang digambarkan dengan patuhnya siswa pada instruksi guru namun siswa tidak memahami esensi kebaikan apa yang ingin disampaikan oleh guru.
Suasana proses belajar mengajar yang kurang kondusif, dimana materi-materi yang diajarkan kepada siswa kurang terinternalisasi pada kehidupan sehari-hari, tugas-tugas yang lebih menekankan pada hal yang teoritis dan kurang aplikatif membuat siswa memahami materi sebatas informasi yang perlu ia ketahui dan tidak terampil untuk mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Ditambah pula dengan proses penilaian yang masih menonjolkan aspek kognitif semata, membuat suasana belajar menjadi sangat kompetitif dan minim kolaboratif antar siswa yang dapat meningkatkan rasa empati dan keterampilan mereka dalam berinteraksi sosial.
Faktor lingkungan termasuk di dalamnya adalah orang tua dan pengasuhan pada akhirnya juga merupakan faktor yang tidak dapat disepelekan. Kemampuan dan kemauan orang tua untuk bersedia bersinergi dengan sekolah dalam melakukan pendidikan pada anak, kesediaan untuk mendengarkan informasi dari dua sisi untuk kemudian diproses dengan lebih bijak pada akhirnya akan memberikan dampak yang besar pada ada atau tidaknya kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah. Dengan adanya kerja sama dari berbagai pihak untuk menciptakan sekolah yang lebih ramah, semoga angka kekerasan dapat semakin ditekan dan anak-anak kita dapat tumbuh menjadi orang-orang yang mengedepankan akal dan nurani ketimbang otot dan kesemena-menaan.
Ditulis oleh: Sayidah Aulia ul Haque dan Eko April Ariyanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H