Solusi penyelesaian ancaman konflik di laut china Selatan terhadap kedaulatan Indonesia  ditinjau dari perjanjian laut kaspia
Gejolak di Laut China Selatan bereskalasi seiring meningkatnya aktivitas China di kawasan itu. Indonesia yang sebagian wilayahnya bersinggungan, dituntut waspada dan cermat dalam menjaga dan menegakkan kedaulatan wilayahnya. Laut China Selatan membentang dari Selat Karimata hingga Selat Taiwan. Perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi ini dikeliling sejumlah negara yang terlibat saling tumpang tindih klaim. Negara-negara yang berkepentingan di Laut China Selatan mayoritas merupakan anggota ASEAN, antara lain Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, [Teluk] Thailand, dan Indonesia. Ada dua negara di luar ASEAN yang juga berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, yakni Taiwan dan China.
Tidak dapat dipungkiri bahwasanya laut China selatan memiliki potensi sumber daya alam yang sangat melimpah, dimana terdapat cadangan minyak bumi yang sangat banyak. Oleh karena itu, banyak negara yang bersikeras meng Klaim bahwa wilayah laut China selatan adalah milik negara tersebut. Dalam hal ini negara yang paling aktif ingin mendapatkan wilayah laut China selatan adalah negara China. China menetapkan perhitungan batas laut yang berbeda dari negara lain di wilayah laut China selatan yang menyebabkan terjadinya tumpang tindih batas wilayah  negara di wilayah laut China selatan termasuk Indonesia.
Laut China Selatan menjadi wilayah yang rawan konflik akibat klaim maritim yang tumpang tindih oleh beberapa negara tersebut, termasuk Indonesia. Ancaman konflik ini membahayakan kedaulatan Indonesia dan stabilitas kawasan.
Perjanjian Laut Kaspia, yang disepakati negara-negara di sekitar Laut Kaspia pada tahun 2018, menawarkan beberapa poin penting yang dapat diadopsi untuk menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan. Berikut beberapa poin pentingnya:
- Penegasan Prinsip Hukum Internasional
Perjanjian Laut Kaspia menegaskan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, seperti Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS 1982). Prinsip-prinsip ini harus menjadi dasar dalam menyelesaikan sengketa di Laut China Selatan, termasuk menghormati Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan hak berdaulat negara-negara pantai.
- Penyelesaian Sengketa Secara Damai
Perjanjian Laut Kaspia menekankan penyelesaian sengketa secara damai melalui dialog, negosiasi, dan mekanisme hukum internasional. Hal ini sejalan dengan pendekatan Indonesia yang selalu mengedepankan diplomasi dan penyelesaian damai dalam menyelesaikan konflik Laut China Selatan.
- Kerjasama Regional
Perjanjian Laut Kaspia mendorong kerjasama regional untuk pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan dan menjaga keamanan maritim. Indonesia dapat mengambil contoh ini dengan memperkuat kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan negara-negara lain di kawasan untuk membangun mekanisme regional dalam mengelola Laut China Selatan.
- Penegakan Hukum Laut:
Perjanjian Laut Kaspia mewajibkan negara-negara pihak untuk menegakkan hukum laut secara efektif. Indonesia perlu memperkuat penegakan hukum laut di ZEE-nya, termasuk dengan meningkatkan patroli maritim dan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran maritim.
- Transparansi dan Partisipasi:
Perjanjian Laut Kaspia mempromosikan transparansi dan partisipasi semua pihak terkait dalam proses penyelesaian sengketa. Indonesia perlu mendorong transparansi dan partisipasi negara-negara claimant dan negara-negara lain yang berkepentingan dalam penyelesaian sengketa Laut China Selatan.
Penting untuk dicatat bahwa Perjanjian Laut Kaspia memiliki konteks dan karakteristik yang berbeda dengan Laut China Selatan. Namun, poin-poin penting dalam perjanjian ini dapat menjadi inspirasi dan referensi bagi Indonesia dan negara-negara lain di kawasan dalam merumuskan solusi yang adil dan damai untuk menyelesaikan sengketa Laut China Selatan.