Mohon tunggu...
August Sinaga
August Sinaga Mohon Tunggu... -

Saya August Sinaga , Penyayang Ibu, Bukan Penulis tapi tidak suka Baca, dan Pecandu Kopi Hitam Pekat\r\n\r\nIsi blog ini bermacam-macam dan tidak fokus pada satu tema atau niche saja. Tidak tahu menulis entah sampai kapan. Mungkin dalam dua hari ke depan masih rajin nulis atau bisa jadi besok sampai setahun ke depan blog ini tidak lagi update. Semoga tetap bisa konsisten menulis karena tulisan itu tidak pernah mati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jou Au Si Gorga

15 Desember 2013   15:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:54 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Turunkan BBM, Hapus Neoliberalisme.


Begitulah raung – raung teriakan demonstrasi di areal kampusku. Hari ini aku begitu kagum dengan kelantangan orasi Martinus Harahap. Dia Ketua BEM Ikat kepala merah dikepalanya dan demonstran – demonstran ini membuat aku berpikir, mahasiswa adalah senjata mematikan yang ditakuti  dikatator penguasa laknat saat itu.

Hari itu hari senin, seperti biasa, sehabis menyeruput kopi hitam pekat, aku beranjak ke kampus dengan membawa sekumpulan kertas – kertas. Laporan skripsi orang- orang menamakannya. Skripsi, 1 kata yang ditakuti “senjata mematikan diatas” .

“Selamat pagi pak”, kataku sambil mengetuk pintu.

“Iya pagi”.Kemudian di menghentikan kegiatan menulisnya dan melihatku

” Ahh… kau lagi…kau lagi Gorga. Kenapa lagi kau? Jangan kau bilang kalok hitungan yang kemarin belum kau pecahkan”, ucapan sinis diselingi kumisnya yang kacrut.

“Bukan pak, saya hanya mau asistensi ke Bapak terkait hitungan beban baja pada posisi diantara dua gaya, itupun kalau Bapak ada waktu”, jawabku sambil mengimbangi senyum kacrutnya


Seperti mahasisw(a) lainnya, dia tidak pernah mempersilahkan duduk di ruangannya.

Dengan logat timur dia berbicara “ Sudahlah belajarlah dulu kau sama senior – seniormu, mahasiwa jangan bermental tempe, berusaha dulu kau 100%, jangan manja” katanya sambil  memberikan syarat menutup pembicaraan dengan meneruskan kembali kegiatan menulisnya.


Aku pun keluar dari ruangannya, dan dipintu sudah ada maya, mahasiswi 1 tingkat dibawahku yang terkenal cantik dan sempat aktif dalam beberapa kegiatan cover girl.  Tanpa perlu aku duga dan perkirakan,  ketika dia mengetuk pintu, bapak dosen itu menerima dengan senyuman.

“Kamprettt. Dosen mesum” makiku dalam hati.


Pak Yusuf nama dosen tadi. Meskipun seorang Doktor, tapi bagiku dia tak ubahnya seorang birokrat bertopeng dosen. Untuk bisa mencapai nilai A, kau harus hadir 100%, tugas 100%, presentasi 100% dan ujian 100%.  Yah, semuanya 100%. Kami menyebutnya Dosen prosentase, karena tidak ada satupun kalimat “ 100%” yang terlewat di setiap kuliah yang diajarnya. Tindak tanduknya terhadap mahasisw(a) beda jauh dengan mahasisw(i). Mungkin karena lingkungan kampus ini didominasi pejantan, akhirnya keadaannya menjadi seperti itu.

Sebelumnya, perkenalkan namaku Wilson Gorga Simanjuntak. Dari kecil aku dipanggil dengan panggilan “Gorga”. Dari kecil, aku dididik keras oleh si Bapak ( demikian aku menyebutnya). Dari kelas 3 SD aku sudah harus melakukan rutinitas membantu Si Mamak ( aku pun menyebutnya demikian untuk ibuku ) dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Setiap pagi aku harus bangun jam 05.00 Subuh dan menyapu halaman rumah dan membersihkan vespa tua si Bapak. Selanjutnya jam 06.00 aku sudah harus menyeduh teh manis untuk aku , adikku dan si Mamak. Sedangkan Si Bapak penggila kopi hitam pekat. Tanpa gula, dan cukup satu sendok kopi hitam.

Pak Posan, demikian teman –teman bapakku memanggilnya. Sebagai seorang batak dan guru matematika SD, dia selalu berpikir dengan keras dan logika. Berbanding terbalik dengan ibuku Nirmala Lb. Tobing yang lemah lembut dan halus. Mungkin karena dia mengajar seni musik, sehingga jiwanya juga ikut menendangkan kedamaian bagi sekitarnya.  Mereka bertemu pertama kali di kampus IKIP Medan dan menikah di Sidikalang, kota kecil tempat aku dibesarkan.  Seperti lagu  Oemar Bakri,  kami hidup dari gaji kecil guru dan hidup sederhana. Tetapi hal tersebut tidak mengubah prinsip dan idealis mereka berdua yaitu “ Anakkon hi do hamoraon di au” , dalam memperjuangkan masa depan anak – anaknya.

“ Amang, bangunkan adikmu itu, sudah jam setengah 7. Terlambat pulak nanti kalian ke sekolah”,kata si mamak sambil menggantikan posisiku menaruh gelas – gelas kopi dan teh itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun