Masa kecil adalah masa menikmati kebebasan, masa pembentukan karakter dan masa kepuasan akan perhatian . Saya misalnya, ketika duduk di bangku Sekolah Dasar mempunyai satu kriteria aneh yang saya terapkan dalam menjalin hubungan dengan “akka dongan”( teman –teman,- red) . Setiap memperingati hari ulang tahun, ada kepuasaan tersendiri ketika semakin banyak teman yang mengingat dan mengucapkan selamat ulang tahun kepada saya maka akan otomatis saya memposisikan mereka kedalam label “Teman Dekat” . Sedikit konyol memang, saat ucapan selamat ulang tahun menjadi indikator pengakuan identitas diri. Konyol sekonyol konyolnya. August kecil yang konyol.
Seiring waktu berjalan, kepuasaan aneh tersebut sedikit demi sedikit menjadi luntur. Ada faktor – faktor yang jauh lebih rasional, yang dapat diterima logika untuk saya memilih sahabat. Ucapan selamat ulang tahun hanyalah menjadi bumbu dan pelengkap saja. Bukan menjadi persoalan primer, sekunder, bahkan tersier sekalipun. Beberapa teman bahkan tidak sedikit yang sering lupa kapan saya berulang tahun. Kekonyolan “pengakuan kepada teman yang mengucapkan selamat ulang tahun” dapat dikatakan menjadi hilang, ditandai dengan komunikasi yang masih sangat terjalin baik dengan mereka, dengan mereka terkadang atau bahkan tidak pernah mengucapkan “selamat ulang tahun”. August meninggalkan kekonyolan.
Ketika menjejakan diri di tanah jawa, ada perubahan yang sangat terasa ketika saya berada dalam lingkungan yang memposisikan saya sebagai minoritas. Toleransi menurut saya, khususnya ditempat saya menimba ilmu masih dihargai. Namun ada satu yang aneh terasa, ketika menjalani hari natal pertama sebagai mahasiswa batak di tanah jawa saya mendapatkan minim ucapan selamat natal, bahkan dari teman dekat sekalipun. Saya tidak tersinggung, tidak marah, toh tidak ada yang berubah dalam pertemanan kami . Hanya ada satu ketidakbiasaan yang akan menjadi kebiasaan baru yang harus dijalani kedepannya. Adaptasi lingkungan mungkin tepatnya.
Menjadi mahasiswa rantau, tentu bukan menjadi hambatan untuk berteman dengan teman dari berbagai daerah. Ada seorang Arek Jawa Timur, Mandhira namanya. Mandhira seorang Muslim taat, yang memegang teguh keyakinan bahwa “mengucapkan selamat hari Natal” adalah haram. Mandhira yang aktif dalam kegiatan Rohis, Mandhira yang pernah mendebat saya ketika saya menganggap Gus Dur adalah Pahlawan Sejati namun menurutnya Gus Dur hanyalah Gus Dur. Hehehe.
Namun perbedaan tidak membuat kami bermusuhan. Waktu yang kami habiskan lebih banyak diisi kebanyolan, tertawa dibandingkan membahas prinsip – prinsip tertentu yang kami tahu tidak akan pernah bertemu juntrungannya.
25 Desember (tahun berapa saya lupa), Mandhira mengucapkan selamat berlibur dan selamat menikmati makanan enak via sms kepada saya. Tentu tidak ada label kata – kata natal pada SMS tersebut. Anggaplah menanyakan kabar, tapi “si kampret” ini bukan lelaki seperti itu. Ada pesan yang seperti terselubung sepertinya “ saya turut berbahagia atas kebahagiaan anda , namun perlu dicatat bukan sukacita anda untuk pengakuan natal”. Dia tidak berdosa, dan saya menerima ucapan tersebut dengan ikhlas dan bahagia. 2 in One. Apalagi dalam tahun menjalani tahun perkuliahan kami saling membantu, saya semakin tidak peduli Dia mengucapkan Selamat natal atau tidak, dia tetap salah satu sahabat terbaik. Si Kampret.
Ada yang berkata bahwa Natal berfungsi sebagai cerminan, dimana ada keinginan nilai, kasih sayang, tradisi didalamnya. Natal adalah memberi hati, hati yang terbuka lebar. Dimana kelahiran Yesus adalahi peristiwa yang paling signifikan dalam sejarah umat manusia, karena Ia menuangkan sesuatu ke dalam dunia dengan obat penyembuhan cinta yang telah bertahan sebagai lebih dari ideologi selama hampir dua ribu tahun
Hari - hari ini kembali hal- hal yang sepertinya sudah menjadi agenda tahunan untuk diributkan. Haram tidaknya mengucapkan selamat hari natal. Sengaja memang saya memuat subjek frasa “Kita” pada tajuk “ Kita bukan pengemis ucapan selamat natal. Kita mengarah ke pelaku dalam ruang lingkup golongan yang merayakan natal. Apakah kita mengemis ucapan selamat hari natal ? Bukan itu substansi yang ingin kita perjuangkan. Apalah artinya pengucapan selamat natal ataupun hari raya lainnya, jika gereja – gereja yang dibongkar paksa, peribadatan yang diteror, kaum – kaum minoritas yang merasa terancam, dan maraknya kekerasan atas nama agama yang masih mendominasi kehidupan sosial. Ketika berharap pada Negara, tentu sudah bisa kita tebak kalau Si peraih “World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation itu hanya bisa mengeluarkan kata prihatin .
Implementasi pada kenyataan jauh lebih kita inginkan daripada menunggu – nunggu orang lain mengucapkan selamat natal. Biarlah, selama memang keberadaan kita dihargai dan hak – hak keberagaman masih dijunjung tinggi, toh itu tidak menjadi masalah. Kita bukan anak kecil yang masih berkelakuan konyol berharap pada pengakuan.
Selamat merayakan Natal saudara dan sahabat. Kita bukan pengiba dan peminta pengakuan dengan Ucapan Selamat Hari Natal. Kita jauh lebih besar daripada itu. Kita bukan August kecil yang konyol. Kita berpikir rasional dan logika dalam menentukan siapa saudara dan siapa perusak saudara ? Kita adalah manusia – manusia modern yang tidak akan jatuh hanya karena ucapan selamat. Apalah arti Ucapan bahkan pengakuan sekalipun, kalau kau mengemis untuk itu ?
August Sinaga