Mohon tunggu...
August Global
August Global Mohon Tunggu... -

I don't think I'm easy to talk about. I've got a very irregular head. And I'm not anything that you think I am anyway\r\n

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Semangat Belajar Pemuda Sangihe Talaud di Kampung Inggris Pare

26 September 2012   12:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38 1319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_201111" align="aligncenter" width="576" caption="KAMPUNG INGGRIS, from zero to build my future. Tertambat di Lubuk Ilmunya GLOBAL ENGLISH COURSE."][/caption] Entah mengapa, sejak Januari 2012 saya terobsesi menguasai Bahasa Inggris Maklum saja, sejak duduk di sekolah menengah pertama hingga menamatkan SMA, nilai bahasa Inggris selalu jauh dari harapan. Waktu itu, tempat kursus dan tutornya adalah barang langkah (tak ada), dan guru mata pelajaran di sek olah jelas tak punya banyak waktu untuk selalu mengajari kami diluar jam belajar. Maka ketika kuliah di semester tiga di Manado, saya sempat berpikir bahwa sebaiknya mengambil kursus. Saya pun mengecek beberapa tempat kursus bahasa Inggris disana. Namun kesibukan kuliah dan aktivitas organisasi kemahasiswaan di intra dan ekstra kampus telah “memesona” jiwa idealisme mahasiswa yang sudah tertanam akan cita-cita Gerakan Reformasi 1998, membuat saya larut melupakan keinginan untuk les bahasa Inggris itu. Alhasil, lulus kuliah pun kemampuan berbahasa inggris saya sangatlah rendah. Mungkin ada sebagian orang yang sulit untuk berbicara dalam bahasa Inggris, namun masih mengerti apa yang dikatakan lawan bicara, nah untuk saya, bahkan apa yang dikatakan lawan bicara pun tidak saya mengerti. Bagi saya itu benar-benar masa yang menertawakan! Padahal ketika itu, aktifitas outdoorku justeru membuat sangat seringnya saya berjumpa, berkenalan, mendampingi peneliti, pekerja organisasi kemanusiaan dan non pemerintah juga wisatawan dari luar negeri yang datang ke daerah saya. Berkali-kali saya dihinggapi rasa frustrasi, ingin melupakan saja pelajaran bahasa Inggris. Pasalnya, dengan prestasi bahasa Inggris selama masa sekolah yang datar-datar saja serta merasa minimnya kemampuan berbicara usai kuliah, terus terang mensugesti saya bahwa untuk menguasai bahasa Inggris sudah pasti sangatlah jauh dari harapan. Tanpa saya sadari, di balik bayangan putus asa itu, rupanya saya justru diberikan pertolongan oleh Sang Khalik. Setiap rasa frustrasi itu datang, setiap kali pula timbul dialog dalam sanubari. Yang positif mengatakan bahwa saya pasti bisa menguasai bahasa ini, silih berganti dengan dialog negatif bahwa saya sama sekali tidak bisa menguasi bahasa Inggris. Seolah-olah saya sedang menjadi moderator dua pihak yang berseberangan hingga pada akhirnya dialog positif-lah yang menjadi pemenang bahwa saya harus belajar, mengambil kursus, berlatih dimana pun dan kapan saja. Keberuntungan membawaku belajar di ‘kampung Inggris’, Pare, Kediri, di bumi Jawa Timur ini, setelah suatu malam di bulan Juli, di Jakarta, salah satu senior dari teman sesama peserta pendidikan khusus profesi Advokat (PKPA) yang kuikuti, datang berkunjung di tempat kosan kami di Cideng dan mengenalkan ihwal belajar di kampung Inggris yang secara drastis membuatnya kini berhasil meningkatkan kemampuan berbahasa Inggrisnya dari nol setelah beberapa bulan tinggal disini, di kampung Inggris. Bung Nico, demikian beliau disapa, mengambil program dengan metode belajar di Global English Course, yang beralamat di jalan Brawijaya, desa Tulungrejo. Malam itu kami berdiskusi panjang lebar, mulai dari dinamika di kampus-kampus Makassar dan Manado yang gegap gempita, nostalgia masa-masa kuliah dan tentang pekerjaan yang cocok buat kami kedepan, soal carut-marutnya dunia hukum, trend korupsi dan kejahatan ekstra ordinary crime lainnya di negeri ini yang kian hari terus naik level dengan munculnya modus operandi baru hingga persiapan kami menjadi Advokat, serta terutama bahasa Inggris, yang mau tidak mau kembali menjadi bahasan yang menyegarkan pikiranku. Bahwa bahasa Inggris masih bertahan sebagai satu-satunya bahasa utama pergaulan internasional kembali menjadi begitu menariknya di pikiranku saat itu. Aku lagi-lagi diingatkan arti pentingnya menguasai bahasa ini, mengingat masyarakat yang berasal dari beragam latar belakang geografi, agama, budaya dan bahasa nasionalnya telah memiliki suatu media yang disepakati untuk berkomunikasi satu sama lainnya, tidak lain yaitu Bahasa Inggris. Diskusi pun mengambil kesimpulan bahwa begitu fenomenanya bahasa Inggris jelas tergambar jika kita dapat menguasasi bahasa yang telah me-lingua franca’ internasional ini akan memberi ruang gerak yang seluas-luasnya kepada kita untuk menjadi bagian dari komunitas masyarakat dunia, dan itu sudah pasti juga praktik hukum acara yang saat ini sedang saya geluti, dimana trend penyelesaian masalah yurisdiksi, pilihan hukum (terutama hukum ekonomi) dan prinsip-prinsip yang disepakati untuk diterapkan baik yang menyangkut substansi maupun prosedural, mulai menembus batas antar negara dan benua yang disebut juga unifikasi hukum. Maka terpatrilah kembali ingatan saya untuk patut (kalau tidak mau dikatakan harus), wajib mempelajari bahasa Inggris, meskipun dalam benak saya masih tertanam banyak pendapat yang menyatakan mempelajari bahasa Inggris itu pasti sangat sulit. Namun sesulit apapun sebuah hal yang harus dipelajari, tetapi bila hal tersebut dilakukan secara terus menerus, maka saya telah menjadi yakin bahwa suatu saat saya akan dimudahkan dan tentunya berakhir dengan mendapatkan apa yang saya inginkan. Diskusi malam itu menjadi batu tapal semangat lagi bagi saya untuk mempelajari bahasa ini. Usai menamatkan PKPA, saya dan Donal (teman saya) tanpa berpikir panjang langsung menuju ke kampung Inggris. Beruntunglah saya mendapatkan karib yang sepikiran dengan saya. Di benak kami berdua, kampung Inggris yang sudah kesohor ini, pasti akan mampu mewujudkan obsesi kami menguasai bahasa Inggris sembari menunggu pelaksanaan ujian nasional di Jakarta. Dengan mengandalkan rutin kiriman orang tua untuk menopang biaya hidup di kampung Inggris yang masih tergolong murah ini mampu membuat kami betah dan semangat menimba ilmu. Tanggal 12 Juli, pagi pukul 08.00, kami tiba di kantor agen bus PO Harapan Jaya di jalan Semeru kota Kediri. Ternyata untuk sampai ke kampung Inggris, kami masih harus menempuh lagi empat puluh lima menit perjalanan dengan angkutan pedesaan kota Kediri -Tulungrejo. Bekal pepatah sakti melayu: “Malu bertanya sesat di jalan”, tak susah menemukan kampung Inggris dan kantor Global English Course. Melalui Bung Nico kami dimudahkan berkomunikasi dan difasilitasi mendaftar di Global karena kantornya yang kebetulan letaknya di jalan protokol nomor enam-enam (Brawijaya) desa Tulungrejo, memudahkan kami untuk turun persis di depan kantor. Usai menyelesaikan proses administrasi, kami diantar ke Saigon House, di jalan Dahlia nomor dua-dua desa Tulungrejo, Saigon House yang nyaman saat itu masuk program camp putra dari Global. Meski sudah dua hari telat, pada hari itu kami tak langsung masuk kelas, pikirku jika sekiranya langsung masuk kelas, saya benar-benar tidak akan tenang belajar. Dua bola mataku masih ingin dimanja karena dalam perjalanan Jakarta menuju Kediri keduanya terus terjaga, mereka sangat menikmati setiap meter tempuhan ban mobil bus yang menawarkan pemandangan malam ratusan kota-kota dan perkampungan sepanjang jalur pantai utara Jawa yang ramai hingga berbelok menembus hutan, bukit-gunung, perkebunan, pedesaan, kota-kota kecil di pedalaman Jawa Tengah dan tiba di jantung Jawa Timur, Kediri. Rupanya setelah sebulan mengikuti kursus di kelas Pronunciation, Vocabulary in Use dan Speaking tingkat dasar, saya semakin semangat karena menemukan kelas-kelas yang dibuat di tempat-tempat yang begitu sederhana. Kadang kami belajar di bawah pohon, di emperan rumah, rumah mini yang disebut “gazebo”, hingga ada yang dibuat mirip kandang dan dinamakan UK (United Kandang)…hehehe. Tapi jangan dikira, ternyata dari kesederhanaan seperti itu justru memberi kami ratusan inspirasi yang terus menguatkan semangat. Harus kukatakan kalau kemampuan bahasa Inggris semakin bertambah. Saya memutuskan untuk terus mendulang ilmu di lubuk pengetahuan Global English Course ini. Begitu menyenangkannya belajar bahasa Inggris di lembaga kursus Global ini, tidak terasa saya melewati pre speaking dan masuk kelas speaking 1. Saya menikmati masa-masa belajar di tengah-tengah kelas yang pesertanya 20-an orang dengan mayoritas mahasiswa. Dapat dibayangkan, bagaimana saya tiba-tiba menemukan suasana belajar yang sarat dengan suasana pergaulan muda-mudi yang nostalgianya terlalu sayang untuk dilupakan, walaupun hanya sejenak. Kisah-kisah persahabatan yang menarik ini sayang untuk tidak dicatat dan diceritakan dilain kesempatan. Kalau saya diminta berkata jujur –dan itu harus, bahwa faktor dominan yang mendongkrak kemajuan berbicara ini tak lain karena berada pada suasana belajar yang sarat dengan suasana pergaulan muda-mudi (yang akrab dan santun), dan termotivasi ingin berkompetisi (positif). Maka sepanjang mengikuti kursus di Global English, saya benar-benar tertelan suasana gembira, tidak pernah melewatkan waktu tanpa makna. Kuceritakan saja kalau saya pernah mendapatkan “kejutan” saat-saat pertama masuk kelas pre speaking yang diasuh Mr. Eddy dan Mr. Syamsul. Keduanya, seperti juga tutor-tutor Global English yang lainnya, punya cara jitu membuat kami terus gembira, bercanda dan sudah pasti betah belajar. Kelasnya dibuat begitu menyenangkan, meski pernah sekali di kelas Mr. Eddy, saya tertegun tak bisa bicara bahkan mengucapkan kalimat pembuka ketika mendapat hukuman (punishment) bicara di depan kelas karena tidak konsentrasi dalam permainan games. Semua yang ada di kepala tiba-tiba hilang. Tahulah sendiri, dalam kelas itu kami berbaur dengan Miss-miss yang tidak saja cantik tapi juga cerdas yang karena itulah, pesona mereka kadang membuyarkan konsentrasi saya, hahaha…(ketahuan deh). Pernah juga karena saking semangatnya saya mau belajar, kalau kebetulan masih ada sisa waktu panjang sebelum kelas dimulai, terkadang saya mampir duduk di bawah pohon mangga camp female 2, menikmati lalu-lalang ribuan pelajar yang membuat suasana kampung Inggris saat itu begitu ramainya. Sudah pasti sembari menyeruput secangkir es teh manis. Atau kalau masih menjelang senja sehabis kelas, terkadang juga bersama teman-teman camp Putra Saigon, memilih mangkal di bawah pohon mangga itu sembari praktek berbahasa Inggris ala “Tarzan” dan berkenalan dengan Miss-miss dari camp female 2. Kebiasaan ini akhirnya menjadi “acara wajib” oleh kami sebagian penghuni Saigon hingga menghasilkan istilah ‘Modus for TOEFL’,,hehehe. Sampai saat-saat terakhir mereka meninggalkan kampung Inggris karena perayaan lebaran akan tiba, acara perpisahan pun kadang diadakan di bawah pohon mangga kenangan itu, he..he..he. Sampai sekarang saya sering senyum-senyum mengenang pengalaman pertama di kampung Inggris ini. Saking bersemangatnya, jurus ala “Tarzan” yang penting bicara tanpa takut bunyi pronunciation yang salah, jadi alat untuk bisa berkenalan dengan Miss-miss dan Mister-mister sesama pelajar: “Hello Miss”, or “Hello Mister what is your name?”; “Where are you from?”; “Where are you living?”; “When did you come?”; “Are you married?”; “Nice to meet you”..hahaha…, Sesaat berselang, masih jelas dalam ingatan, bagaimana teman-teman ini membalas saya dengan hal yang sama, mungkin karena sama-sama belajar. Ternyata ada ratusan juga yang seperti saya, memulai dari nol, hehehe…membuatku makin bertambah semangat! Usai lebaran, ternyata saya mendapati kampung Inggris benar-benar sunyi. Keceriaan selama musim ramai belajar berganti keseriusan di musim kemarau nan sunyi. Pada periode masuk kelas 25 Agustus, saya memutuskan istirahat kursus selama dua minggu untuk mendalami kembali materi-materi hukum acara, maklum ujian nasional kemungkinan akan dilaksanakan akhir bulan Oktober nanti. Maka dengan berbagai pertimbangan aku memilih sering “bertapa” di camp Saigon. Banyak sekali nostalgia indah membekas di dalam hati. Tentu saja jika kuceritakan disini, tak kuat ratusan halaman untuk memuat kisah-kisah disini satu persatu. Tidak kurang kenangan indah di kesunyian malam kampung Inggris, atau mengayuh sepeda dengan santai menyusuri jalan Brawijaya, masuk jalan Mawar/Mahesa, belok kanan Masjid Baitul Mashurin di Jalan Anyelir, belok kiri ke jalan Dahlia dan kembali ke Saigon yang ramai. Kadang di malam minggu kami mengelilingi kota kecil Pare, berkunjung ke Tugu Proklamasi/PANCASILA, alun-alun hingga area pertokoan yang ramai. Ramai-ramai ke Monumen Simpang Lima Gumul (ikon baru pariwisata kabupaten Kediri), sore di warung Ketan, bahkan bermain futsal antar asrama di Holiday Futsal, menikmati matahari terbit (sunrise) di gunung Bromo dan air terjun Coban Rondo di Malang, bakti sosial donor darah di PMI hingga collect money, hingga berpetualang di goa Sorowono…wow, sungguh pengalaman tak ternilai harganya. Sampai-sampai hembusan angin malam yang kadang bisa sangat kencangnya, maklum saja musim kemarau dengan angin kering sedang bergigi di Kediri. Sesekali kami menyelenggarakan pentas musik atau menyanyi bersama dengan gitar dan tamburnya dari gelon Aqua, lagu-lagunya yang ramai menjadi pengantar ke peraduan dan itu semua terekam tajam di sanubari. Sampai saat ini, saya masih mengenang bagaimana lagu Anging Mamiri, Sinanggar Tulo, Ampar-ampar Pisang, Sayang-sayang si Patokaan, Apuse Kokondao, dan beberapa lagu-lagu daerah lainnya, sesekali berganti dengan lagu kisah cinta, romantis, berkumandang mengendap di kesunyian malam menjawab suasana hati bagi yang menginginkan lagunya (tentu di request) untuk dinyanyikan bersama. Ternyata yel-yel lembaga kursus yang sering saya dengar dari tutor tersebut memegang peranan besar: “"What time is it?", selalu kami jawab: It's time to change! Atau: "Better English Better Future", kami menjawabnya lantang: “YES WE CAN!”, yang dipadukan dengan pengayaan perbendaharaan kata (vocabulary in use). Berbagai kelengkapan tambahan praktek bermain peran, permainan konsentrasi, berdiskusi, berwisata alam, bermusik, berdrama, yang saya alami selama kursus, sangat memicu motivasi, yang lama kelamaan menambah semangat saya mempelajari bahasa ini. Saat belajar di Global, antara kami sesama pelajar dan tutor sedemikian akrabnya, sehingga kami semua merasa seperti dalam satu keluarga besar tanpa sekat-sekat ras, golongan, suku, agama, maupun almamater. Kami terbiasa memanggil nama satu sama lain dengan awalan Miss atau Mister. Meskipun kami tidak pernah ketemu lagi sejak berpisah di penghujung bulan Ramadhan, kecuali satu dua orang yang sering tukar menukar pesan singkat (SMS), twitteran, maupun di facebook, sebut saja antara lain: Miss Aya, Miss Indri, Miss Wira, Miss Chintya, Miss Dita, Miss Fitri, Miss Windy, Miss Gita, Mister Reza, Mister Syahrul, Mister Ale, Mister Ari, Mister Willy, Mister Firman dan beberapa Miss dan Mister lainnya. Saya sendiri, waktu itu dipanggil “Mr. Bojeng” atau Botak Berjenggot, yang akhirnya lebih populer dari nama asli saya sendiri disini, ..hahaha. Kini, tinggalan nostalgia indah yang tak ternilai dan tak terlupakan selama di kampung Inggris terutama suasana belajar di Global English Course ini membuatku memiliki harapan: “Manjaddah Wajaddah”, ujaran Sakti dari Tanah Arab yang artinya “Barang siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil”, membuatku hatiku makin jauh tertambat di lubuk ilmunya Global English di Kampung Inggris. Yes We Can! …sore di Saigon 09 (Tulungrejo), 25 Sept 2012. *Irwan Lalegit, peminat bahasa dan penikmat keindahan alam. — di Saigon-09.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun