[caption id="attachment_349483" align="aligncenter" width="300" caption="JKW@KonseRakyat"][/caption]
Joko Widodo sudah resmi diputuskan menjadi presiden ke 7 negara ini pada hari Selasa malam tanggal 22 Juli yang lalu.
Sejak dari awal berbondong-bondong rakyat menggubyah-gubyah bpk. Jokowi yang baru saja menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta untuk mencalonkan diri menjadi presiden RI, dimana pada awalnya beliau selalu bilang "tidak mikir soal copras-capres", terpaksa "manut" dgn keputusan partainya melalui keputusan berat seorang Megawati. Jokowi akhirnya maju juga sebagai capres berpasangan dengan seorang sesepuh yang sudah berpengalaman didalam pemerintahan.
Fenomena berbondong-bondongnya rakyat mulai dari kelas paling bawah hingga ke kalangan intelektual dan menengah di seantero negeri, seniman bahkan kalangan usaha papan atas, telah mengejewantahkan sebuah dukungan sekaligus pengharapan rakyat yang ditimpakan kepada figur seorang kurus kerempeng, tidak berpengalaman, tidak bisa berbahasa Inggris dan berasal dari kalangan rakyat biasa, untuk menjadi tumpuan rakyat akan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Fenomena ini juga telah menggerakkan jutaan orang yang sebelumnya menyandang status golput seperti saya untuk menyumbangkan suaranya agar bisa mengangkat si "kerempeng" melawan konspirasi politik yang telah mencengkeram negeri ini berpuluh tahun lamanya. Konspirasi politik oleh beberapa partai politik dan individu yang berkumpul dan merapat pada pasangan ambisius Prabowo-Hatta.
Dukungan spontan dan tanpa pamrih ini kemudian diputar balikkan oleh kubu lawan sebagai sebuah konspirasi upaya pemenangan sistemik dikubu Jokowi, disamping itu gempuran black-campaign dilancarkan untuk menghasut dan menjatuhkan moral rakyat secara bertubi-tubi.
Suasana riuh rendah di pelosok negeri mulai dari dunia nyata hingga ke dunia maya telah membuat sebuah polarisasi di semua kalangan. Gempuran black-campaign mulai dari issue bhw Jokowi adalah keturunan seorang Cina, beragama non-muslim, di back-up oleh pemodal asing dan Cina, tidak konsisten dan tidak amanah menjalankan jabatannya sebagai gubernur DKI hingga issue bahwa Jokowi bukanlah seorang muslim yang baik, ternyata tidak menggoyah para pengagumnya.
Perhitungan suara mulai dari dalam negeri hingga ke komunitas diaspora yang tersebar di seluruh dunia telah menggambarkan bahwa rakyat memilih capres nomor dua ini. Fakta dilapangan menunjukkan pasangan JKW-JK sebenarnya selalu menunjukkan persentase perolehan suara yang sangat jauh meninggalkan pasangan PraHatta, sehingga indikasi kecurangan sebetulnya lebih tepat diarahkan kepada pasangan nomor 1 itu, karena di pihak mereka terdapat golongan yang selalu mendominasi kehidupan perpolitikan di negeri ini sejak masa orde baru, yang mempunyai mesin politik yang terstruktur rapi, tersistemasi secara baik dan masif. Hal ini dapat dilihat pada perolehan suara dari provinsi2 dimana disitu jajaran birokrasinya telah dice,ngkeram oleh sebuah budaya feodal sistemik yang ditinggalkan oleh pemerintahan orde baru dan Golkar misalnya seperti di provinsi Banten.
Rekapitulasi suara final yg dideklarasikan oleh KPU sebetulnya tidak mencerminkan perolehan suara sebenarnya yang ada di lapangan, sehingga klaim bahwa pemerintahan Jokowi nanti harus menghadapi separuh jumlah rakyat yang tidak percaya kepadanya hanyalah sebuah propaganda dan isapan jempol belaka.
Dengan telah berakhirnya proses pemilihan presiden RI per. 2014-2019 ini, dan mundurnya pasangan capres-cawapres Prabowo Hatta yang tidak menerima hasil penghitungan suara oleh lembaga yang berwenang untuk menangani hal ini, secara aklamasi telah ditetapkan pasangan Jokowi-Kala akan memimpin negara ini 5 tahun ke depan.
Sangat diharapkan drama pilpres 2014 kali ini dapat dijadikan sebagai sebuah pembelajaran berpolitik sehingga di masa depan tidak terdapat lagi kampanye politik yang saling menyerang serta menyebar kebencian seperti saat ini. Adagium bahwa politik boleh menghalalkan segala cara betul-betul harus ditinjau ulang. Pagar dan batasan-batasan didalam berkampanye sudah seharusnya ditetapkan untuk menghindari hal ini. Aturan dan kriteria-kriteria seperti misalnya persoalan kompetensi, program-program kerja hingga ke masalah kesantunan berpolitik juga harus dijadikan acuan dalam kompetisi ini, hingga dapat mewariskan kehidupan berpolitik dan berdemokrasi secara sehat kepada seluruh rakyat.
Akhir kata kita semua hanya mengharapkan sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, yang bisa mewujudkan sebuah negara yang adil dan sejahtera, serta bisa menjadi sebuah habitat yang melahirkan manusia-manusia unggul di masa depan.
Sekian.