JAVA Tattoo Club Indonesia (JTCI) bukan organisasi untuk jualan. Begitu yang ditekankan Athonk, penanggung jawab sebuah komunitas tattoo, (mungkin) terbesar di Indonesia dengan penyebaran dalam skala internasional. Rupanya, pria yang mulai mengenal tattoo sejak tahun 1994 silam ini mulai gerah dengan asumsi ‘ngasal’ itu.
“Banyak yang salah kaprah dengan adanya organisasi (JTCI) ini. Awam menganggap organisasi ini ‘milik’ seniman tattoo. Sementara pelaku industrinya (seniman lokal dan internasional), menganggap JTCI menjual peralatan untuk menato,” ungkap Athonk saat dihubungi beberapa waktu lampau.
Makanya, pria yang rela belajar seni tattoo hingga Autralia (2 tahun) dan Amerika (5 tahun) ini tidak pernah lelah menyebarkan semangat sesungguhnya dari komunitas yang berdiri sejak Agustus 1997.
Apa sih JTCI itu? Ini adalah organisasi independent yang ditujukan bagi siapapun yang mencintai tattoo. Entah untuk alasan estetika atau bisnis. Artinya, sangat terbuka luas sekali kesempatan bagi anda yang tidak punya tattoo sekalipun, tetapi tertarik untuk mengenal lebih jauh dengan salah cabang pop culture ini.
“Kalau dibandingkan dengan tahun-tahun awal, sekitar 5 hingga 10 tahun lalu, jelas ada perbedaan yang sangat signifikan. Kalau dulu orang membuat tattoo terkesan ‘malu-malu’, sekarang mereka tidak lagi takut membuat tattoo dengan ukuran yang besar.
Artinya, perubahan tersebut tidak terlepas dari adanya apresiasi masyarakat. Tatto mulai dipandang sebagai karya seni, meski memang masih ada pro dan kontra soal tattoo,” terangnya lugas.
Dalam rentang sepuluh mendekati sebelas tahun perjalanan, JTCI ternyata tidak lantas loyo untuk menanamkan sikap positive thinking. Terutama untuk masyarakat awam. Semata demi menyebarkan paradigma tattoo sebagai seni, bukan ekses dari kriminal. Termasuk penyebaran penyakit mematikan AIDS.
Selain itu, web-site ternyata sangat membantu JTCI untuk menyebarkan ‘positive paradigm’. Atau bagaimana mengarahkan asumsi negatif menjadi positif, yakni mengenalkan tattoo sebagian seni dan budaya, dan bukan lagi sekedar pencarian identitas diri. Dan tentu saja, untuk mengikis asumsi ‘ngasal’ soal JTCI sebagai ‘penadah’ dan ‘penjual’.
Dan tidak dapat dipungkiri, kendala klasik masih membayangi sejumlah seniman tattoo. Kali ini Athonk menyorot soal kualitas SDM. Persoalan paling vital sebenarnya. “Seniman tattoo harus terus belajar. Tidak bisa dengan hanya menyalahkah salah satu sisi. Kendala penggunaan mesin rakitan, tingkat kesulitan disain hingga tinta sudah tidak dapat dijadikan alasan kenapa hasil tattoo yang dibuat tidak maksimal,” tegasnya.
Tertarik untuk mengenal lebih dekat seperti apa sih Java Tattoo Club, sekali waktu silahkan datang berkunjung ke situs resmi mereka di www.javatattooclub.org. Entah untuk sekedar menambah wawasan atau untuk mencari data dimana dan siapa saja artist tattoo berpengalaman yang bisa ditemukan di sejumlah kota . (yen)
(published at local magazine, Jogja, 2008)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H