Aku :
…Detik ini tersulut penat tak bertuan, tertunduk bungkuk membusuk bersama serapah yang tumpah tak beraturan. Detik ini terpelanting, terbanting-banting berantakan bersama pedih yang terbahak menggelegak. Seperti lupa bagaimana mengeja nama Tuhan.
Dan sepertinya memang kosong. Tapi tak hendak memuja jawaban. Mungkin memang harus kosong, sampai nanti aku merengkuh sesuatu yang nyata, senyata kekosongan ini.
Sebab aku lelah mendengar kata-kata, mengutak atik makna yang tak bermakna dan meperjelas batas yang tak jelas. Maka aku memutuskan untuk berhenti mendengar kata-kata,
Kecuali itu nyata…
***
Lalu :
…Demi Tuhan, berhentilah mengais bangkai harap yang terlanjur membusuk dan menangisi yang mati yang terjungkal terkubur dendam!
Sebab, ketika hidup tak lagi mampu menguras kesia-siaan maha tolol itu, untuk apa menyisakan usia dengan kumuh nyali yang terburai berceceran di trotoar? Mati sajalah!
Dan, terimakasih telah membuatku terpingkal. Tapi sungguh kamu tak lebih dari keparat bebal dengan logika dangkal dan harga diri sempal!…
***
Memenggalmu :
…Jika pikirmu aku meludahi yang ada, pancung saja logikamu itu. Sebab aku tak sudi memutilasi harga diri, tidak hari ini, tidak pula seribu abad berdaki-daki!
Sebab aku tak ingin mengantungi omong kosong yang mencicit di buritan hari, dan membiarkan nalarnya menciderai mimpi yang tak sudi dikebiri logika ngawur.
Jika ini tak seperti hipotesamu, saatnya mengeksekusi yang memang harus mati, bukan?…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H