Mahasiswa Prodi Hukum Ekonomi Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta, Aufi Desfasabrina Khusnadila 202111013.
Review jurnal berjudul “Dampak Pernikahan Dini dan Problematika Hukumnya” yang ditulis oleh Muhammad Julijanto, dosen fakultas syariah UIN Raden Mas Said Surakarta. Jurnal volume 25, nomor 1, tahun 2015. Jurnal ini berisi 11 halaman.
Angka pernikahan dini di lereng Merapi, Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman Yogyakarta selama 2011 terbilang tinggi. Selama kurun waktu tersebut tercatata ada 40 pernikahan dengan syarat dispensasi usia.
Hal ini tentu saja menyebabkan kontroversi, diantaranya melanggar HAM. Selain kontroversi tersebut, penulis juga memberikan dampak negatif pernikahan dini, diantarnya rentan perceraian, masa depan keluarga suram, dan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Selain pernikahan dini di lereng Merapi, penulis juga mengungkapkan bahwa di Wonogiri dalam setahun rata-rata ada 10.000-11.000 pernikahan. Dari jumlah tersebut angka perceraiannya berkisar 8-9 persen.
Perceraian tersebut dikarenakan pendidikan rendah, pernikahan dini, usia belum mencukupi kematangan biologis dan kematangan mental dalam membangun rumah tangga, mentalitasnya rendah, sehingga sangat rentan terhadap terjadinya perceraian.
Dalam Fikih Klasik pada prinsipnya tidak menetapkan batas usia minimum bagi laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan perkawinan. Sehingga tidak mengherankan bahwa perkawinan anak-anak justru berkonotasi positif, jika hal itu dilakukan atas pertimbangan kemaslahatan moral dan agama.
Dari sudut padang yang berbeda pakar hukum Islam kontemporer melakukan terobosan hukum (exepressif verbis) terkait dengan legalitas perkawinan anak di bawah umur.
Agama Islam dalam praktiknya tidak melarang secara tegas batasan umur pernikahan. Namun agama Islam tidak menganjurkan untuk melakukan pernikahan dini. Karena banyaknya mudharat yang terjadi dan resiko yang berakibat kematian terutama untuk pihak perempuan.
Batasan minimal untuk menikah, terutama pada perempuan yakni 16 tahun, diungkap oleh penulis bahwa usia tersebut tidak relevan. Pernikahan diusia 16 tahun beresiko tinggi bagi perempuan.
Resiko secara medis, seperti yang diungkapkan oleh penulis dalam artikelnya menurut saya itu cukup untuk menjadi alasan agar praktik pernikahan dini disudahi.
Jika diakumulasikan dalam setahun mencapai 17.520 kasus". Yang berbahaya, kini muncul fenomena tingkat kelahiran di kalangan remaja usia 15-19 tahun malah semakin meningkat. Jika pada 2011 rata-rata remaja usia 15-19 tahun adalah 35 kelahiran per 1.000 perempuan, maka pada 2012 meningkat jadi 48 per 1.000 perempuan.
Penulis dalam artikelnya juga menuliskan tentang pernikahan, mulai dari pengertian, fungsi, tujuan, dan memberitahu pembaca tentang pilar utama keluarga sakinah. Pernikahan merupakan satu-satunya sarana untuk menciptakan keluarga dan keturunan.
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa (Pasal 1 UU No 1 Tahun 1974). adapun fungsi yang diharpkan ketika menikah ialah dapat mengerjakan ibadah yang dianjurkan oleh Allah SWT., menyalurkan hawa nafsu, membentuk, membina hidup dan kehidupan yang teratur, rukun, damai, tenang, sentausa dan bahagia serta untuk mendapatkan keturunan yang shaleh shalihah. Adapun tujuan pernikahan antara lain: 1) Untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. 2) Untuk menegakkan agama. 3) Untuk mengembangkan keturunan. 4) Untuk mencegah maksiyat. 5) Untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur.
Upaya merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya tentang batas usia perkawinan. Sehingga ada kesamaan dalam segala peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang batas usia perkawinan. Penulis memaparkan bahwa usia pernikahan minimal untuk calon pengantin seharusnya direvisi kembali. Usia minimal untuk menikah saat undang- undang ini dibuat ialah 16 tahun. Dan pada tahun saat Reviewer menulis review artikel ini ialah usia 19 tahun. Umur 19 tahun menurut Reviewer cukup untuk kematangan emosi, pemikiran yang sudah dewasa, dan juga kesiapan reproduksi untuk melahirkan keturunan.
Artikel yang Saya review ini memberikan pandangan kepada pembaca agar tidak melestarikan pernikahan dini dengan alasan apapun. Selain alasan medis yang bisa mengakibatkan kematian, alasan dampak negatif pernikahan dini juga patut untuk diperhatikan.
Penulis juga menyertakan data-data tentang pernikahan dini di berbagai daerah seperti di lereng Merapi dan Wonogiri. Artikel ilmiah ini sudah cukup untuk meyakinkan pembaca bahwa pernikahan dini yang dilakukan oleh masyarakat ini sangat berbahaya untuk kedua calon mempelai. Kelemahan artikel ini bahasa yang digunakan terlalu sulit dimengerti oleh orang awam.
Menurut Reviewer, pernikahan dini jangan sampai terjadi lagi, karena selain faktor yang disebutkan oleh penulis artikel, terdapat juga gangguan mental bagi kedua pasangan. Terutama untuk perempuan, akan memiliki masa depan yang suram, resiko kesehatan reproduksi, kesiapan psikologis maupun ekonomi keluarga, sehingga membawa dampak rentan terjadi perceraian, dan terlantarnya kualitas pendidikan anaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H