Agaknya diantara kita pernah berada dalam posisi tersebut. Titik nadir adalah titik paling rendah, titik dimana rasa "Manusia" itu perlu dipertanyakan. Manusia adalah kreasi Tuhan yang begitu unik dan spesial. Selain dibekali perangkat otak untuk berfikir, juga dibekali hati yang mempunyai perasaan. Bagaimana jadinya jika kita, sebagai manusia merasa kerja otak kita  tidak maksimal, sulit untuk berfikir jernih, hati terasa mati, sulit merasakan apalagi menikamati kehidupan sehari hari. Padahal fitrahnya manusi dilahirkan secara bebas, telanjang tanpai pakaian, berkreasi tanpa batas.
Jika dia pegawai, akan merasakan kejenuhan yang luar biasa hebat, karena rutinitas. Jika dia pejabat, dia akan merasa lelah dan putus asa karena dituntut untuk selalu melayani. Jika dia artis, frustasi akan mendera karena sangat sulit menemukan privasi untuk keluarga dan diri sendiri.
Jika dia penikmat kehidupan bebas, akan merasa lelah mencari dan terus mencari hulu dari segala keinginannya. Jika dia aktivis, akan tiba masa bahwa aktivitasnya terasa hambar, ingin sesuatu yg nyata, bukan sekedar kata. Jika sadar bahwa dia diciptakan sebagai manusia seutuhnya, dia akan pasrah terhadap nasib setelah perjalanan jauh nan melelahkan yang tak kunjung membuahkan.
Sebenarnya sih, tidak ada sesuatu yang benar benar enak, nikmat, tanpa batas, dan sempurna.
Yang ada hanya, "kamu lebih enak ya", "masih enakan kamu", "andai aku menjadi"...."aku akan".....Dan saling membayangkan.
Sebagai makhluk yang unik, manusia mempunyai banyak sekali cara untuk menemukan solusi terbaik. Namun tak jarang, sangat sulit menentukan dan memilih solusi yang cocok karena lumpuhnya otak dan perasaan.
Tulisan ini pun saya tulis, ketika merasakan titik nadir sebagai karyawan. Bosan, lelah, jenuh, semangat padam, seakan waktu berjalan merayap 1 tahun lamanya hanya untuk sekedar menunggu tanggal muda. Lalu, apakah dengan menulis saya akan dapat kembali fit lagi! Jawabannya tentu tidak.
Saya pribadi memahami titik nadir hanya sebuah fase pikiran dan hati. Baik buruk keadaan yang kita alami, itu hanya terjadi di dalam alam fikiran dan perasaan. Tentu, jika melihat keadaan sekitar, teman sekantor, orang lain yang juga bekerja, mereka baik – baik saja, tampak baik, dan sudah bukan urusan saya untuk mengetahui perasaan mereka, yang penting terlihat baik, titik.
Dalam perenungan saya, sebenarnya titik nadir hanyalah luapan dari sistem yang mengatur pola fikir dan perasaan secara sistematis dan terus menerus. Dan ini sangat menyalahi kodrat naluri manusia, yang selalu ingin bebas berkehendak dan berkreasi. Sebagai pekerja, saya sadar bahwa jiwa dan raga terlalu diatur harus tunduk kepada hukum dunia. Perlulah sesekali waktu diberi keleluasan untuk melepaskan semua belenggu itu.
beberapa cara menurut pengalaman pribadi menghadapi titik nadir, semoga bermanfaat:
Menerima