Mohon tunggu...
Aufa Putri
Aufa Putri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tentang Berpacaran Beda Agama

16 Mei 2015   04:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:59 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tuhan memang satu, kita yang tak sama."

Tahu lagu itu? Lagu milik Marcell itu pasti sering diputar oleh orang-orang yang berpacaran beda agama. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberagaman di zaman sekarang ini menyebabkan manusia terbagi-bagi ke dalam berbagai kelompok, seperti ras, etnis, ataupun agama. Pada tahun 1972, di Amerika Serikat pernah diadakan suatu polling mengenai pernikahan beda ras oleh Gallup, Inc. Hasilnya, kebanyakan masyarakat Amerika tidak setuju dengan pernikahan semacam itu. Mereka juga menolak pasangan homoseksual dan pasangan dengan jarak usia yang cukup jauh. Di Indonesia sendiri, pasangan seperti apa sih, yang seringkali dipandang buruk? Jika melihat dari sisi hukum, pernikahan yang dianggap sah adalah pernikahan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hal ini tercantum dalam UU RI nomor 1 tahun 1974. Agama merupakan penentu sahnya pernikahan, sehingga pasangan yang berbeda agama seringkali tidak disetujui oleh lingkungan sosialnya. [caption id="attachment_379905" align="aligncenter" width="510" caption="Hukum Pernikahan Menurut Agama-Agama di Indonesia (sumber: pribadi)"][/caption] Hubungan semacam ini disebut juga sebagai hubungan marginal. Menurut Lehmiller dan Agnew (2006), hubungan marginal adalah hubungan intim yang tidak tradisional, di mana pasangan menerima penolakan sosial akibat dari hubungan mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, pasangan-pasangan ini seringkali diperlakukan kurang menyenangkan oleh masyarakat karena ketidaklaziman hubungan mereka. Penolakan seperti ini berarti tidak ada atau kurangnya dukungan atau penerimaan sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Etcheverry dan Agnew pada tahun 2004 menyatakan bahwa ternyata persepsi mengenai penerimaan atau penolakan lingkungan sosial memiliki hubungan terhadap komitmen dan stabilitas hubungan intim. Kembali lagi ke dalam konteks di Indonesia. Berkembangnya teknologi dan institusi di Indonesia menyebabkan interaksi antara individu yang berbeda agama semakin sering terjadi. Hal ini tidak menutup kemungkinan terjalinnya hubungan berpacaran beda agama, terutama pada orang-orang di usia 20-an. Ada apa memangnya di usia 20-an itu? Usia 20-an merupakan tahap perkembangan dewasa awal, di mana salah satu tugas perkembangannya adalah mencari pasangan hidup. Dalam tahap ini, seseorang juga memiliki banyak sekali kesempatan untuk memperluas jaringan sosialnya. Inilah mengapa orang-orang di tahap perkembangan dewasa awal sangat mungkin menjalin hubungan romantis dengan orang yang berbeda agama. [caption id="" align="aligncenter" width="510" caption="Tahap Psikososial Erikson (sumber: http://www.slideshare.net/jhoegh/santrock-tls-5pptch012-6460674)"]

[/caption] Kalau begitu, bagaimana sih dukungan sosial dan komitmen yang dimiliki oleh orang-orang yang berpacaran beda agama? Untuk skripsi, saya melakukan penelitian ini di bawah pengawasan dosen pembimbing saya pada bulan Februari 2015. Dari 76 responden berusia 20 - 30 tahun yang sudah berpacaran beda agama selama minimal 6 bulan, didapatkan data bahwa sebanyak 59 responden (77,6%) menerima dukungan sosial rendah. Sisanya, sebanyak 17 responden (22,4%), menerima dukungan sosial tinggi. Sebagian besar responden ini merasa kurang dikuatkan dalam menjalani hubungan berpacaran beda agamanya. Kebanyakan dari mereka juga merasa lingkungan sosialnya kurang mendukung pilihan mereka untuk bersama dengan pasangannya. Yang paling kentara adalah sebagian besar responden kurang mengetahui informasi mengenai pernikahan beda agama, baik di Indonesia ataupun menurut agama mereka masing-masing. Hal ini menjadikan kebanyakan responden merasa tertekan, baik karena respons dari lingkungan sosialnya sendiri ataupun karena merasakan kebuntuan dalam hubungan mereka. Tapi, sebanyak 64 responden (84,2%) memiliki komitmen yang tinggi, lho. Sisanya, sebanyak 12 responden (15,8%), memiliki komitmen rendah. Sebagian besar responden merasa puas dengan hubungan berpacarannya saat ini. Mereka juga merasa bahwa orang lain belum tentu mampu memberikan kepuasan seperti yang mereka rasakan saat ini. Selain itu, mereka juga merasa sudah memberikan yang terbaik untuk hubungan mereka. Hal ini menyebabkan mayoritas responden merasa terikat dengan pasangannya dan cenderung akan mempertahankan hubungannya. Bagaimana kalau keduanya digabungkan? Bagaimana komitmen responden yang dukungan sosialnya tinggi? Nah, sebelumnya kan sudah didapatkan data bahwa ada 17 orang responden yang menerima dukungan sosial tinggi. Ternyata seluruh responden ini memiliki komitmen yang tinggi juga! Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sprecher dan Felmlee pada tahun 1992, bahwa penerimaan oleh lingkungan sosial membuat responden merasa lebih secure dengan hubungannya. Responden jadi memiliki kecenderungan untuk bertahan, walaupun berbeda agama. Bagaimana dengan yang dukungan sosialnya rendah? Di sini, responden terbagi dua. Sebanyak 12 responden (20,3%) memiliki komitmen rendah, namun 47 responden (79,7%) memiliki komitmen tinggi. Keduabelas responden yang memiliki komitmen rendah memang merasa kurang puas dengan hubungan mereka. Mereka merasa bahwa hubungan mereka terlalu costly untuk dipertahankan. Mereka juga merasa bahwa orang lain mungkin akan mampu memberikan keuntungan lebih dibandingkan pasangannya saat ini. Hal ini menjadikan mereka cenderung akan memutuskan hubungannya. Di sisi lain, pada 47 responden lainnya, mereka seluruhnya merasa puas dengan hubungannya. Namun, ada hal yang membedakan responden ini dengan responden yang menerima dukungan sosial tinggi. Responden di sini cukup merasa rugi dalam menjalani hubungannya. Mereka merasa bahwa ada orang lain yang mampu memberikan kepuasan lebih besar dibandingkan pasangannya saat ini. Hal ini dikembalikan lagi kepada masing-masing responden. Menurut Etcheverry dan Agnew (2004), ada kemungkinan responden tidak mempedulikan penolakan dari lingkungan sosialnya jika responden merasa cukup terikat dengan pasangannya. Jadi, responden di sini juga tetap memiliki kecenderungan untuk mempertahankan hubungannya. Lalu, apa? Sebagian besar responden mengaku kurang mengetahui informasi mengenai pernikahan beda agama. Responden (dan orang-orang lain yang membutuhkan informasi ini) bisa mulai bertanya ataupun berdiskusi dengan lingkungan sosial mengenai hal ini. Dengan pasangan, misalnya. Pasangan bisa saja kan, memberi tahu informasi dalam agamanya. Lalu, responden dan pasangan dapat membuat keputusan akan melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan atau tidak. Jika ya, responden dan pasangan juga dapat memilih cara apa yang akan ditempuh. (Psst, banyak lho, caranya!) Selain itu, untuk memberikan dukungan, pasangan responden dapat lebih menguatkan dan membuat responden merasa dicintai. Pasangan dapat melakukan hal-hal yang nyata, seperti berkenalan dengan lingkungan keluarga responden, belajar tentang agama responden, dan sebagainya. Tentu saja, lingkungan sosial yang lain juga (kalau bisa?) ikut membantu menguatkan responden. Responden akan sangat menghargai dukungan dari lingkungan sosialnya, terutama keluarga. Keluarga ataupun keluarga pasangan responden dapat lebih menguatkan responden dalam menjalani hubungan berpacarannya. Jadi, saya memberikan semangat untuk responden dan orang-orang lain di luar sana! Semoga selalu dilancarkan dan diberikan yang terbaik! Tulisan ini dibuat dari skripsi saya yang berjudul Gambaran Dukungan Sosial dan Komitmen pada Individu yang Berpacaran Beda Agama untuk para responden dan semua orang yang butuh dikuatkan. Terima kasih atas kesediaannya untuk berpartisipasi. Daftar Pustaka:

Budhianita, E. H. 2013. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Islam. Karya tulis ilmiah. Jember: Universitas Jember.

Catholics Online. 2001. Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik. http://www.ekaristi.org/khk/index.php?q=1123-1139 (diakses 6  April 2014 pukul 20:24)

Etcheverry, P. E. & Agnew, C. R. 2004. “Subjective Norms and the Prediction of Romantic Relationship State and Fate”. Personal Relationships Vol. 11:409 – 428.

Lehmiller, J. J. & Agnew, C. R. 2006. “Marginalized Relationships: The Impact of Social Disapproval on Romantic Relationship Commitment”. Society for Personality and Social Psychology, Inc. Vol. 32 No. 1:40 – 51.

Kristanti, E. S. 2010. Status Hukum Terhadap Perkawinan Konghucu Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Tesis. Semarang: Universitas  Diponegoro.

Makalew, J. M. 2013. “Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia”.Lex Privatum Vol.I No.2:131 – 144.

Musa, A. Y. M. 2013. Tafsir Al-Qur’an Hidayatul Insan. https://ia601709.us.archive.org/24/items/TafsirAlQuranJilid1/Hidayatul%20Insan%20Jilid%201.pdf (diakses 18 November 2014 pukul 20:44)

Nur, S. F. R. 2012. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Terhadap Anak yang Dilahirkan Terkait Masalah Kewarisan. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Republik Indonesia. 1974. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1974 Tentang  Perkawinan.http://www.kemenag.go.id/file/dokumen/UUPerkawinan.pdf(‎diakses 17 Maret 2014 pukul 17:25)

Sprecher, S. & Felmlee, D. 1992. “The Influence of Parents and Friends on the Quality and Stability of Romantic Relationships: A Three-Wave Longitudinal Investigation”. Journal of Marriage and Family Vol. 54, No.4:888 – 900.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun