Sebelum berdiri sebagai sebuah negara, Israel merupakan kelompok yang berisikan orang-orang Yahudi dan menjadi kelompok kecil yang tersebar hampir diseluruh dunia. Hal ini terjadi dikarenakan pembantaian dan pengusiran terhadap etnis Yahudi yang terjadi saat penguasaan Yerusalem oleh Bangsa Romawi pada Tahun 70 Masehi.[1] Karena terjadinya penguasaan di pusat kota Yerusalem pada masa itu, etnis Yahudi pun terpaksa menyebar menjadi beberapa kelompok hampir keseluruh penjuru dunia.Â
 Rencana Mudik
Pada awal abad ke 20 pasca terjadinya Perang Dunia pertama, etnis Yahudi yang merupakan minoritas di Eropa dan tertindas karena gerakan anti-semitisme orang Kristen Eropa menginginkan untuk kembali ke tanah leluhurnya yaitu Tanah Palestina. Hal ini dilakukan oleh etnis Yahudi karena adanya beberapa faktor[2], yang pertama adalah faktor sejarah. Â Dalam hal ini mereka merasakan adanya ikatan antara Tanah Palestina dengan etnis Yahudi dimasa lalu. Dimulai dengan eksistensi etnis Yahudi di awal peradaban Palestina dengan adanya pusat pemerintahan di Yerusalem yang berjalan dengan sistem kerajaan dan di pimpin oleh Raja Daud dan dilanjutkan oleh beberapa keturunannya[3]. Kerajaan "Yahudi" ini memimpin dan mengatur etnis Yahudi sampai dengan berakhirnya kekuasaan kerajaan tersebut pada tahun 722 SM, saat Babylonia menyerang Palestina, kemudian menguasai wilayah tersebut. Faktor kedua adalah faktor Kepercayaan, etnis Yahudi berkeyakinan bahwa tanah Palestina merupakan tanah yang diberikan oleh tuhan kepada mereka.[4] Dan faktor ketiga adalah Faktor Hukum, Faktor inilah yang menjadi legitimasi mereka untuk melakukan penguasaan terhadap tanah Palestina.Â
Dalam mengimplementasikan faktor hukum-nya, etnis Yahudi yang berada di Eropa mengetahui mengenai Perjanjian antara negara sekutu yang memenangkan Perang Dunia I untuk membagi wilayah Kekaisaran Turki Utsmany yang kalah dalam Perang Dunia menjadi wilayah kekuasaan mereka, Perjanjian itu adalah Perjanjian Sykes-Picot yang di inisiasi oleh Inggris dan Perancis[5]. Melihat ada nya Perjanjian tersebut salah seorang etnis Yahudi yang bernama Chaim Weizmann yang merupakan pembuat formula senjata pihak Inggris dan membantunya memenangkan Perang Dunia I mengajukan permintaan yaitu sebuah wilayah kepada Perdana Menteri Inggris yaitu David Llyod George[6].Â
Perjanjian Sykes-Picot hingga Deklarasi Balfour
Pada awalnya David Llyod George akan memberikan wilayah Uganda di Afrika kepada Chaim Weizmann untuk etnis Yahudi. Namun mengingat Perjanjian Sykes-Picot, yang dimana membagikan wilayah Palestina dibawah kendali Pemerintahan Inggris, Weizmann menginginkan wilayah tersebut[7]. David L George menyetujui hal tersebut dan meminta kepada Sekretaris Jendral Luar Negeri Inggris Lord Balfour untuk membuat sebuah Deklarasi, yang sampai saat ini dikenal dengan Deklarasi Balfour. Deklarasi Balfour secara resmi di deklarasikan pada tanggal 2 November 1917, dan berisikan bahwa pemerintahan Inggris secara positif menyetujui adanya pendirian Tanah Air bagi etnis Yahudi di wilayah Palestina, dan akan berusaha untuk memudahkan proses tercapainya usaha tersebut[8]. Deklarasi ini pun dijadikan sebagai Faktor Hukum oleh etnis Yahudi saat itu untuk segera berimigrasi ke Tanah Palestina.
Â
Perkembangan konflik antar etnis hingga berdiri menjadi negara
Ketika dikeluarkanya Deklarasi Balfour, etnis Yahudi melakukan imigrasi besar-besaran menuju tanah Palestina. Meskipun masih dalam tahap imigrasi, saat itu populasi etnis Yahudi sudah sekitar 10% dan memiliki lahan 25% di Tanah Palestina, lahan ini mereka miliki dengan cara melakukan jual-beli tanah sebelum terjadinya Perang Dunia pertama ketika tanah Palestina masih berada dibawah kekaisaran Ottoman Turki[9]. Lonjakan populasi Yahudi dengan maraknya kedatangan imigran ke Tanah Palestina, membuahkan protes besar-besaran oleh etnis Arab di Palestina. Sehingga mereka mengadakan Kongres Nasional Palestina I di Yerusalem pada tahun 1919, dengan hasil penolakan terhadap Deklarasi Balfour dan menginginkan kemerdekaan Palestina[10]. Â
Pasca terjadinya Kongres Nasional Palestina I, Liga Bangsa-Bangsa mengadakan Konferensi di San Remo, Italia pada tanggal 24 April 1920. Dalam Konferensi tersebut Liga Bangsa-Bangsa ( LBB ) meminta agar wilayah-wilayah yang belum merdeka atau belum memiliki pemerintahan yang sah agar sementara waktu berada dibawah kendali  negara-negara yang diberi mandate sesuai dengan Perjanjian Sykes-Picot 1916. Konferensi ini menghasilkan Palestina dan TransJordania berada di bawah kekuasaan Inggris, dan Inggris tetap dapat mengimplementasikan Deklarasi Balfour 1917 dalam menjalankan mandatnya[11]. Dalam menjalankan mandatnya Pemerintahan Inggris tidak dapat menghentikan pertikaian antara etnis Yahudi dan etnis Arab, pertikaian ini selalu terjadi karena sebab yang sama yakni besarnya lonjakan populasi Yahudi di Tanah Palestina.Â
Lonjakan populasi Yahudi sangat drastic pada saat Perang Dunia kedua, hal ini terjadi dikarenakan peristiwa Holocaust yang digaungkan oleh Hitler untuk melakukan Genosida terhadap etnis Yahudi di Eropa. Besarnya lonjakan menjadikan hubungan antar etnis Yahudi dan Arab di Palestina menjadi semakin panas. Sehingga pada tanggal 29 November 1947 Pemerintahan Inggris membawa permasalahan ini ke PBB serta mengakhiri mandate yang dimilikinya atas wilayah Palestina.