Saya tak tahu kapan anak-anak merasa takjub dengan kata ajaib “jalan-jalan”. Tapi saya menangkapnya, adanya intonasi suara berbau surga yang diembuskan saat menyampaikan kata "jalan-jalan" kepada anak-anak yang polos itu.
Lalu, bagaimana saya mesti mengkompromikan dua hal yang berbeda? Saya tak pernah tahu, selain harus mengikhlaskan jiwa dan raga ini untuk kebahagiaan mereka. Istri dan anak-anakku.
Kalaulah memang sedang dalam kondisi tak berdaya untuk berargumen, cukup pasang muka memelas. Memohon agar liburan di rumah benar-benar diridoi oleh segenap anggota keluarga. Alhamdulillah, beberapa kali cara ini terkabul dengan baik.
Tapi, ada tapinya...
Saat muka memelas ini mulai sirna di menjelang sore, permintaan jalan-jalan ke luar rumah secara tiba-tiba muncul kembali. Entahlah bagaimana menolaknya? Yang pasti, muka memelas tak mungkin dua kali dibuat. Dan akhirnya, tetap saja jalan-jalan ke luar rumah. Meski pantat kesayangan ini terdengar menangis lirih saat hendak berpisah dengan kursi empuknya. [*]