Mohon tunggu...
ilham aufa
ilham aufa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta, Penulis Lepas

Masih Belajar dan Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lelaki yang Mendamba Liburan

7 September 2016   12:13 Diperbarui: 7 September 2016   12:20 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencari cerita para moyang di Candi Prambanan.

Saat kalender sedang bertanda merah, ada pertanyaan berulang. “Besok sama anak-anak mau kemana ya, pa?” Pertanyaannya sederhana, namun jika salah jawab, serasa ada gatal di punggung yang tak pernah ketemu sebabnya. Sebagai suami, saya selalu menerawang jauh, memaksa otak kanan dan kiri beradu argumen. Meskipun, keputusan akhirnya lagi-lagi ada di belakang pantat. “Dompet dan segala isi yang terkandung di dalamnya.”

***

Siapa sih yang tak mau berlibur. Siapa sih yang tak mau mengajak bahagia keluarga. Dan, siapa sih yang tak mau membeli ini itu dengan mudah, layaknya menekan tombol “beli” di situs tokopedia.com.

Bagi saya, membeli adalah aktivitas menyenangkan. Shopaholic? Bukan. Ini adalah waktu balas dendam saat kemiskinan melanda pendapatan. Sebab, dengan membeli, serasa ini waktu yang paling tepat memegang predikat kaya, meski cuma beberapa menit. Selebihnya, kembali ke kehidupan semula. 

Soal kapan merasa menjadi kaya, biasanya terjadi saat keinginan anak-anak dan istri bisa terpenuhi. Ingat, keinginan ya, bukan kebutuhan! Tentu keinginan yang saya perberat dengan syarat-syarat yang ketat.

Biasanya, waktu yang tepat menjadi kaya adalah saat hari libur. Syarat lainnya, saya mau dengan ikhlas mememenuhi ajakan keluarga untuk keluar rumah menuju tempat-tempat yang telah dirancang sebelumnya.

Haruskah dengan ikhlas? Tentu saja. Ikhlas mengandaikan ketulusan. Ketulusan ada saat kemampuan juga tersedia. Maka kesimpulannya, jika kemampuan sedang dalam kondisi sekarat, sepertinya ketulusan menjadi sangat berharga. Beraat dan sangat beraaat. Meskipun pada akhirnya, harus berhitung batasan maksimal pengeluaran saat di perjalanan.

***

Sebenarnya, saat melihat kalender merah, pilihan utama saya adalah memaksimalkan hari libur. Benar-benar libur dari segala aktivitas setelah sepekan penuh diganggu dengan pekerjaan yang berurai akar masalah dan kwadrat tuntutan kesempurnaan. 

Libur yang sesungguhnya bagi saya adalah beristirahat, dan menikmati guyonan anak-anak di rumah. 

Namun sayangnya, arti liburan bagi saya bertabrakan dengan istilah liburan bagi istri. Sebab, bagi istri, rumah adalah tempat pekerjaan. Maka, kalender merah adalah kalender keluar rumah. Jalan-jalan. Menikmati pemandangan kota. Belanja ini itu bersama sang anak yang memang lagi doyan dengan kata “jalan-jalan”. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun