Bagi seorang bapak, menjadi motivator anak adalah penting. Seorang psikolog bahkan menganjurkan para orangtua agar memberi sang anak apresiasi jika si anak berhasil memenuhi ekspektasi para orang tua. Tapi apa jadinya jika sang bapak “dijebak” sang Anak dengan daftar permintaan yang kadang sulit dipenuhi? Perlu kiranya sang Bapak punya ilmu lebih. “Ngeles”.
***
Saya adalah orang tua dari tiga anak. Yang paling besar sudah di kelas 4 SD. Adiknya masih di TK. Sementara sang bontot belum genap berusia dua tahun.
Seperti halnya bapak-bapak yang lain, selalu ada keinginan agar anak-anak mereka mempunyai prestasi lebih di antara sekian teman-temannya di kelas. Ada di antaranya yang menuntut mereka harus juara satu, namun banyak juga yang tak memaksa agar si anak bisa sedikit di atas rata-rata kelas.
Maka, dalam satu kelas itu, ada banyak manusia bocah yang mempunyai kegiatan yang beragam paska kegiatan rutin kelas. Les bahasa inggris, jarimatika, hingga ekstra kurikuler.
Kebetulan anak saya yang paling besar berjenis kelamin perempuan. Umumnya, anak perempuan punya kemampuan konsentrasi lebih dibanding anak laki-laki. Rajin belajar dan tak mau kalah dalam berprestasi di kelas.
Semenjak dari kelas satu, sang Anak ini membuat saya bangga. Meski tak pernah mendampingi secara serius dalam kegiatan belajarnya, nama sang Anak selalu tertera sepuluh besar murid berprestasi di kelasnya. Yang tertinggi dia pernah menduduki posisi ranking tiga. Saya lupa di semester berapa ia pernah meraih prestasi itu.
Saya tak pernah menuntut, demikian pula sang Anak. Dia tak pernah memaksa meminta hasil atas kerja kerasnya memuaskan hati orangtuanya.
***
Satu ketika, dalam sebuah obrolan ringan dengan sang anak, saya mencoba mengevaluasi kegiatan belajar sang Anak. Sang Anak ringan menjawab dengan santai berbagai macam kegiatan di kelasnya.
Saat secara tak sengaja saya keceplosan menuntut agar ia lebih berprestasi lagi, sang Anak rupanya sadar akan konsekuensi. Maka yang keluarlah obrolan di bawah ini.