Mohon tunggu...
Aufa Fuad
Aufa Fuad Mohon Tunggu... -

Terobsesi oleh sains, kuliah di Master of Nanoscale, Universite de Lyon, Prancis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sudah Sepatutnya 22 Oktober HSN

18 Oktober 2015   10:07 Diperbarui: 18 Oktober 2015   12:33 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

22 Oktober sudah ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Saya tidak tahu ini baik atau buruk, namun kalau untung atau rugi sudah maklum relatif bergantung ormas dan kelompok yang berkepentingan. Perlu memisahkan antara kelompok yang berkepentingan dengan santri itu sendiri, sebab kaum santri tidak butuh pengakuan formal negara atas jasa mereka. Dan karena HSN telah ditetapkan, pembicaraan tentang hal ini sebaiknya lebih ke berpikir positif bagaimana kita memaknainya.

Stigma Pendidikan Pesantren
Saya masih ingat dulu saat di kelas 6 SD, menjelang hari perpisahan, seorang guru yang cukup saya idolakan menanyakan hendak ke SMP mana saya melanjutkan sekolah. Saya menjawab bahwa orang tua berkeinginan untuk me-mondok-kan saya di pesantren. Mendengar jawaban saya beliau menasihati agar sebaiknya daftar ke SMP negeri favorit, beliau percaya bahwa nilai rapor saya mencukupi untuk bisa lolos. Beliau khawatir jika di pesantren tidak bisa mendapat pendidikan sebaik di SMP negeri. Nasihat itu sangat mengena bagi siswa SD biasa seperti saya.

Ada stigma di masyarakat saat itu -atau mungkin hingga sekarang- bahwa pesantren adalah tempat bagi mereka yang sudah tidak diterima atau gagal di sekolah negeri. Bahkan sebagian beranggapan bahwa pesantren adalah tempat mendidik anak nakal. Orang tua yang memiliki anak nakal ada yang menakuti mereka dengan akan me-mondok-kannya.

Di titik itu saya tahu bahwa pesantren memang lembaga pendidikan yang tersisihkan. Namun di saat yang sama saya juga berpikir bahwa kita perlu berterima kasih kepada pesantren. Bagaimanapun nakalnya anak tetap mereka harus mendapat pendidikan, jika mereka tidak mampu, atau gagal, atau merasa minder dengan sekolah negeri maka pesantren menerimanya. Terlepas dari fakta bahwa kini ada pesantren modern yang menggunakan tes masuk, pesantren pada prinsipnya sejak dulu berjasa dalam mengusung prinsip pendidikan bagi semua bahkan bagi yang termarjinalkan dengan biaya seminimal mungkin dan bahkan gratis.

Penetapan HSN semoga dibarengi dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan pendidikan bagi seluruh warga negara. Sebab, nilai luhur santri dan pesantren adalah kepedulian untuk menyediakan pendidikan bagi mereka yang membutuhkan. Dalam lingkup internal pesantren, HSN juga bisa dimanfaatkan sebagai momen otokritik untuk memajukan lembaga pendidikan pesantren tanpa mereduksi tujuan awal diselenggarakannya sistem pendidikan tertua di Indonesia ini.

Nasionalisme Sejak dalam Iman
Yang pernah saya baca tentang peristiwa resolusi jihad hanyalah buku Resolusi Jihad Paling Syar'i karya Gugun El Guyanie. Saya belum sepenuhnya yakin dengan buku itu, eh sayangnya justru peristiwa resolusi 22 Oktober itulah yang menjadi alasan penetapan HSN. Kendatipun demikian, saya setuju dengan ide untuk menguak sejarah peran pemuka agama (kyai) dalam perjuangan kemerdekaan.

Isu yang berbenturan -atau dibenturkan- dengan NKRI dan nasionalisme belakangan ini adalah isu terkait agama. Penganut Islam konservatif sudah terang-terangan menyebarkan ideologi anti pancasila. Kaum puritan dan radikal sudah mudah dijumpai. Bahkan ustad yang menulis kicauan anti nasionalisme mendapat dukungan yang tidak sedikit.

Berangkat dari fenomena itu, masyarakat Indonesia khususnya Muslim Indonesia perlu memperteguh identitasnya. Cara ini dilakukan dengan mengungkap fakta sejarah tentang peran kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan. Santri meyakini bahwa Islam sangat konstruktrif dengan negara. Sebuah slogan yang cukup populer di kalangan santri, Hubbul wathan minal iman, cinta tanah air sebagian dari iman.

Resolusi Jihad menyerukan bahwa berperang melawan penjajah – yang kala itu untuk mempertahankan Surabaya- adalah fardhu ain atau kewajiban tertinggi di strata wajib dalam Islam. Tentu, gugur dalam perang itu adalah syahid. Bayangkan, betapa tidak ada sedikitpun tendensi bagi santri untuk tidak habis-habisan dalam berperang.

Untuk kaum yang sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan tapi masih termarjinalkan dalam beberapa hal, saya pikir adalah bijak bagi pemerintah untuk mengapresiasi dan menghadiahkan mereka HSN meskipun mereka tidak meminta. Saat kala itu santri berperang saya cukup yakin -sebagaimana yang mereka percayai- mereka niat ibadah dan menghindari riya' (pengakuan atau pujian manusia atas amal).Spirit HSN semoga dapat menginspirasi untuk berjasa terhadap negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun