Mohon tunggu...
Audrey Verina
Audrey Verina Mohon Tunggu... -

I'm an ordinary girl with extraordinary dreams :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kenapa Aku Harus Bertahan?

21 Desember 2010   17:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:31 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ketika kuketuk, katanya, hilangkanlah perasaan itu. Ketika kupikir, benar juga. Kenapa harus bertahan? Saat aku tahu bahwa segalanya tidak mungkin? Mulut berkata, ya, tidak perlu dipertahankan. Semua akan sia-sia. Tapi hati menjerit. Dia alasanku untuk bertahan di sini. Dia yang mengajarkanku bagaimana rasanya mencintai dan dicintai, pertama kalinya. Dia menunjukkanku apa itu cinta. Awalnya aku ragu, benarkah itu cinta? Atau hanya sekedar, sugesti yang mengaku bahwa itu cinta?

Lalu seperti yang setiap saat terjadi, waktu terus berlalu. Sempat memutuskan bahwa itu bukan cinta, lalu berpaling. Dan tersadar, berpaling bukan cinta. Berpaling, pelampiasan. Saat dia menjauh dan memberi jarak pada hubungan. Mungkin, pembalasan dendam. Ingin menunjukkan bahwa ia bukan satu-satunya. Lalu aku terbangun, tersadar bahwa aku sedang berada dalam alam mimpi.

Pertanyaan itu mengambang sekali lagi, kenapa harus bertahan? Kupikir lagi, karena aku masih berharap. Berharap apa? Berharap bahwa dialah yang kutunggu. Dialah satu-satunya. Orang yang bisa menemaniku, setiap saat. Orang yang paling mengertiku. Dan yang paling penting, tak ada yang mencintaiku seperti ia mencintaiku dulu. Segala yang ada padanya, seakan-akan sempurna, padahal kutahu, ia sama sekali tidak sempurna. Bagiku, kekurangannya adalah kesempurnaannya.

Aku merindukan setiap saat yang pernah kulalui bersamanya. Setiap detiknya. Genggaman tangannya. Wangi tubuhnya. Senyumnya. Caranya memanggil namaku. Caranya berbicara padaku. Setiap kata yang diucapkan padaku. Bagaimana ia membuatku tersenyum saat aku sedih. Bagaiman ia selalu membuatku nyaman saat berada di dekatnya. Bagaimana rasanya selalu ingin bersamanya. Dan setiap aku melihat tawanya. Tapi kali ini, tiada lagi cara ia membuatku tersenyum saat aku sedih. Kali ini, ia membuatku menangis. Mengetahui bahwa tiada lagi mimpi indah seperti sebelumnya.

Dan mungkin, untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Ia yang mengajarkan aku bagaimana mencintai. Ia yang menunjukkan padaku bagaimana rasanya dicintai. Tidak banyak yang aku inginkan. Aku hanya ingin, ia membiarkan aku bertahan. Menunggu. Aku tidak ingin melupakan apapun. Karena kenangan-kenangan itu yang paling berharga dalam hidupku. Kalau saja ia tak pernah mengajarkan dan menunjukkanku, aku takkan tegar seperti ini sekarang.

Dulu, aku berharap, ia yang pertama, dan terakhir. Kini, aku tak lagi mengharapkan apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun