Introduction
Transformasi Era digital telah membawa berbagai macam aspek kehidupan menuju sebuah tren yang serba digital baik komunikasi, hiburan, dan masih banyak lagi lainnya. Hal ini tidak terkecuali ketika kita membahas mengenai tren Propaganda di era moden saat ini. Sebelum hadirnya transformasi menuju ke era digital, pendekatan dalam mempraktikkan propaganda pada perang dingin cenderung dilakukan oleh para aktor negara dan beberapa media massa yang terlibat kedalam sana sehingga kita sebagai masyarakat awam yang mungkin seandainya hidup pada masa perang dingin bisa langsung mengetahui propaganda yang dilihat di media cetak maupun elektronik pada masa itu merupakan perbuatan dari negara untuk mempersuasif target audiens yang dituju. Beda dengan praktik propaganda yang kita lihat pada masa Era digital pada saat ini, dimana dengan akses yang jauh lebih terbuka, bebas, dan hampir tidak ada hambatan di sana, kita sebagai konsumen dari berita itu tidak bisa membedakan siapa yang sedang melakukan propaganda dan untuk audiens mana propaganda ini dituju.
Trend pendekatan praktik dari propaganda pada masa kini mengalami transisi yang dulunya berorientasi terhadap aspek politik menjadi ke aspek ekonomi (bukan bearti trend propaganda kearah aspek politik menjadi ditingggalkan secara utuh). Mengutip dari Sushona Zubof tahun 2019 pada bukunya yang berjudul "The Age of Surveillance Capitalism" yang dimana pada buku tersebut juga mengutip dari pemikiran Noam Chomsky. Dimana bahwasannya, Manusia di Era modern selain menjadi konsumen daripada produk kapitalisme yang dalam hal ini adalah teknologi, rekam jejak daripada Manusia selaku konsumen itu hampir tidak adalagi yang namanya privasi karena kita tengah diawasi (Surveillance). Adapun mekanisme yang dihadirkan dari sebuah landasan Teori dari Surveillance itu ada yang namanya: Big Data, Algoritma Media Sosial, dan Influencer. Â
Main CourseÂ
Big data merupakan keseluruhan rekam jejak daripada konsumen yang pernah dilakukan melalui ranah digital. Sederhananya adalah, ketika kita menggunakan gadget di suatu aplikasi terkadang meminta akses privasi kita di gadget, kita ketika mendownload aplikasi tertentu kadang meminta akses privasi seperti kamera, galeri, dan masih banyak lagi lainnya. Hal ini berpotensi dengan maraknya praktik kejahatan cyber seperti penipuan, phising, dan masih banyak lagi lainnya. Tetapi hal ini tidak serta merta menjadikan big data sebagai aspek yang patut di sekuritisasi karena tujuan hadirnya big data adalah mempermudah provider untuk mengetahui kebutuhan apa yang sedang dicari oleh konsumen pada hari ini.
Algoritma Media Sosial merupakan sebuah mekanisme yang dapat mengarahkan engagement konsumen terhadap apa yang cenderung menjadi pencarian konsumen di suatu platform media sosial. Sederhananya adalah, jika pemilik akun berjenis kelamin pria dan memiliki minat terhadap olahraga, maka Algoritma akan sering menampilkan apa yang menjadi minat dari pria tersebut yaitu penyajian informasi mengenai olahraga akan terus muncul di beranda akun pria tersebut. Algoritma media sosial tidak hanya menampilkan penyajian informasi untuk diri kita terkait apa yang menjadi minat kita saja, tetapi terhadap apa yang menjadi kebutuhan kita saat ini. Sederhananya adalah ketika kita sedang membutuhkan uang dalam waktu cepat, kita langsung mencari pinjaman online, Algoritma langsung merekam dan menyimpan di Big Data terkait apa yang menjadi pencarian kita sekaligus dari pencarian kita tersebut menjadi kebutuhan kita.
Influencer, alih -- alih aktor negara atau korporat yang secara terang -- terangan dalam menyiarkan kepentingan mereka terhadap propaganda, dalam hal ini Influencer dapat menjadi perpanjangan tangan daripada pemerintah dalam mempengaruhi opini publik. Influencer dipandang sebagai tokoh masyarakat yang mungkin berpengaruh dan memiliki pengikut yang tidak sedikit sehingga Influencer sebagai perantara pihak yang berkepentingan (aktor negara atau dari korporat) dipercaya dapat memiliki pengaruh dalam menggiring opini masyarakat untuk setuju dengan apa yang dipropagandakan oleh pihak yang berkepentingan tadi.Â
Kita dapat melihat praktik ini pada negara superpower di tahun 2016 ketika terjadinya pemilu antara dua calon president Amerika Serikat yaitu Donald Trump yang berasal dari partai republic dan Hillary Clinton yang merupakan partai democrat. Asumsi awalnya adalah Donald Trump sudah pasti kalah dikarenakan dia orang yang konservatif, anti imigran, misogini, rasis, dan masih banyak lagi lainnya. Tetapi asumsi ini berhasil dipatahkan karena yang memenangkan pemilu adalah Donald Trump, dari hal ini telah membuat terjadinya Brexit atau Inggris keluar dari Uni Eropa.
Mekanisme yang dihadirkan oleh kelompok Trump agar dapat memenangkan pemilu adalah mereka memanfaatkan Big data melalui akun -- akun media sosial rakyat Amerika serikat dari seluruh wilayah dalam mewujudkan hoax Kampanye agar sesuai dengan pemikiran rakyat di negara bagian tersebut.
Kita dapat mengambil contoh Masyarakat Texas yang merupakan mayoritas orang konservatif dengan pemeluk agama protestan yang cukup besar, dari hal ini pengikut Trump memanfaatkan kecenderungan rakyat texas dan membangun citra postif Trump dan menghina lawan politiknya sebagai pendukung LGBT. Hal ini membawa masyarakat Texas berada di dalam Echo chamber (Sebuah pandangan dimana kelompok masyarakat tidak mau mempercayai kebenaran melainkan hoax yang disebarkan). Praktik yang kita lihat pada paragraph ini adalah Propaganda di Era digital melalui Cambridge Analytica.Â