Mohon tunggu...
Audrey Ariella
Audrey Ariella Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Review Film Kartini

26 April 2017   14:58 Diperbarui: 10 Mei 2017   13:49 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kartini dikisahkan dari rentang waktu 1883-1903 di Jepara, dari mulai masih kanak-kanak sampai dewasa. Kita bisa melihat Kartini kecil sudah memberontak karena ingin tidur dengan ibunya, Ngasirah (Christine Hakim) yang notabene adalah asisten rumah tangga. Hal tersebut bertentangan dengan tradisi Jawa pada saat itu karena Kartini memiliki ayah seorang Bupati (golongan bangsawan). Waktu berlalu hingga Kartini harus dipingit di dalam kamar karena usianya yang siap untuk dinikahi.

Kartini remaja yang jenuh dengan kehidupannya di rumah — apalagi setelah kakak tirinya, Soelastri menikah — akhirnya mendapatkan angin segar ketika kakaknya, Sosrokartono (Reza Rahadian) memberikan kunci lemarinya yang berisi buku-buku sebelum ia pergi ke Belanda. Kartini yang kemudian membaca buku-buku pemberian kakaknya berhasil membuat pikirannya tidak terpenjara dengan berbagai macam khayalan yang divisualisasikannya secara nyata. Sampai pada bagian dimana Kardinah (Ayushita) dan Roekmini (Acha Septriasa) masuk ke kamar Kartini untuk dipingit. Kartini pun mendapatkan dua ajudan untuk membantu perjuangannya.

Segala macam persepsi kita tentang sosok Raden Ajeng Kartini yang merupakan putri bangsawan dengan segala keanggunannya akan runtuh ketika menonton film ini. Digambarkan bahwa Kartini sebenarnya adalah perempuan yang tomboi pada zamannya. Melalui lingkup terkecil ketika Kartini berada di kamarnya bersama dua adiknya, kegemarannya memanjat tembok, hingga berlarian di pantai mengangkat sarung batiknya, Kartini bukanlah sosok putri yang menye-menye.

Bagaimana Kartini mencoba keluar dari keterbatasan adat yang membelenggunya. Juga bagaimana Kartini membagi pemikirannya dari orang terdekat hingga ke masyarakat. Sebagai perempuan yang dipaksa menerima peraturan, ia berusaha mendobrak batasan-batasan. Dengan membaca buku berbahasa asing, dengan memberanikan diri untuk menulis, dengan bersentuhan dengan para penjajah, dengan membantu bisnis warga sekitar sambil mengabaikan tradisi.

Dalam salah satu adegan, Kartini bertanya kepada seorang ustadz yang baru saja mengadakan pengajian di rumahnya. Ia ingin memastikan bahwa perlawanan yang tengah ia lakukan tidak bertentangan dengan kitab suci. Ketika sang ustadz memberi pencerahan bahwa setiap orang sama haknya untuk mendapatkan ilmu di mata Tuhan, mata Kartini berbinar.

Menurut sejarah yang beredar, ustadz yang ditemui adalah Kyai Sholeh Darat. Pertemuan ini membukakan mata Kartini dan membawanya mendalami agama sebagai bagian dari alat perjuangan. Kala itu Kartini menolak dengan tegas poligami yang menjadi masalah utama di lingkungannya. Tentunya titik penting ini semakin menguatkan keyakinan Kartini untuk lepas dari belenggu tradisi yang menghambat dirinya dan keluarganya.

Untungnya pemilihan penekanan drama yang terjadi di keluarga Kartini ditulis dengan baik. Salah satu momen mengharukan adalah ketika Ngasirah berbicara kepada Kartini di pinggir danau tentang alasannya rela jadi asisten rumah tangga dan keengganannya melihat Kartini melawan tradisi. Setelahnya Kartini digambarkan sedikit lebih lunak akan idealismenya.

Kalau tujuannya menjadi film yang inspiratif dan positif, film ini memenuhi maksudnya. Banyak momen heroik ditampilkan dan perjuangan Kartini sebagai perempuan terasa di sini. Tapi memang ceritanya tidak sedalam itu dan tidak memberikan porsi lebih pada sosok Kartini yang lebih kompleks. Sebagai perkenalan sederhana, setidaknya film Kartinimelakukannya dengan bagus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun