Mohon tunggu...
Audina Lyadi
Audina Lyadi Mohon Tunggu... Guru - Pelajar

Menulis untuk membentuk pengalaman baru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Perspektif Rasionalisme dan Berbenah untuk "Generasi Z" Indonesia

24 Desember 2019   22:46 Diperbarui: 26 Desember 2019   10:14 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.istimewa via https://www.rchilli.com/

Keluarnya hasil skor PISA 2018 menjadi sebuah hal yang masih sangat memprihatinkan untuk dunia pendidikan Indonesia. PISA (Proggramme for International Students Assesment) merupakan penilaian internasional yang berfokus pada sains, membaca, dan matematika. Indonesia menduduki peringkat ke 72 dari 78 negara yang berpartisipasi, dengan skor sains 396, membaca 371, dan matematika 379. 

Penilaian ini dilakukan setiap tiga tahun sekali pada anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun dan dilaksanakan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). 

Dengan begitu, anak yang dijadikan sampel pada penilaian program PISA merupakan kelahiran tahun 2003 yang tergolong dalam "generasi Z". Apa itu generasi Z? Bagaimana karakteristiknya? Apa yang menjadi penyebab 'tertidurnya' generasi Z Indonesia?

Tapscoot (2008) mengatakan bahwa generasi Z merupakan sekelompok orang yang lahir pada tahun antara 1995-2010 yang biasa disebut generasi internet karena memang mereka tumbuh pada era digital dan internet merupakan bagian dari gaya hidup. 

Sedangkan menurut David Stillman  dan Jonah Stillman (2017) dalam bukunya yang berjudul Gen Z at Work: How the Next Generation is Transforming the Workplace, terdapat tujuh sifat atau karakter yang dimiliki oleh generasi Z yaitu:

  • Figital : generasi yang eksis di dua dunia, yaitu dunia nyata dan virtual. Kepribadian mereka bisa sangat berbeda saat di dunia virtual dibandingkan kehidupan nyata. Misal yang dikehidupan nyata terlihat seperti anak yang pendiam, tetapi bisa berubah menjadi anak yang banyak bicara saat di media sosial.
  • Hiperkustomisasi : anak-anak generasi Z suka sekali melakakukan modifikasi pada barang-barang yang dimilikinya, seperti di motor, laptop, ataupun bahkan pakaian yang dikenakan. Hal ini mereka lakukan untuk menunjukkan identitas diri dengan cara bebas berekspresi.
  • Realistis : generasi Z merupakan generasi yang memiliki cita-cita tinggi, karena mereka sadar hal tersebut bukanlah sesuatu yang tidak bisa dilakukan di era canggih seperti sekarang. Mereka dapat menjadi apapun yang mereka inginkan, namun nyatanya kebebasan bermimpi yang dimiliki juga tetap mengedepankan realitas yang mungkin terjadi. Mereka juga menyadari akan keterbatasan diri, ancaman, dan tantangan yang ada di dunia luar.
  • FOMO (Fear of Missing Out) : generasi yang sangat update terkait segala sesuatu yang terjadi disekitar mereka. Mereka sampai dapat melewatkan aktivitas makan atau bahkan rela untuk tidur di jam yang singkat, demi selalu update berita di media sosial agar tidak melewatkan segala sesuatu yang mereka anggap penting.
  • Weconomist : generasi yang terbiasa dengan konsep 'sharing economy' yaitu konsep bisnis yang dapat memberikan akses kepada sumber daya yang dimiliki orang atau perusahaan untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan bersama dengan pengguna. Contohnya seperti aplikasi semacam Grab, Uber, dan Gojek.
  • DIY (Do it Yourself) : gaya hidup khas gen Z yang tidak perlu sekolah khusus dalam membantu kehidupan sehari-hari, karena mereka punya Google dan Youtube, yang didalamnya berisi berbagai macam hal yang bisa langsung dicontoh, seperti mencari resep untuk memasak sesuatu, memperbaiki barang elektronik, bahkan sampai cara memotong rambut bisa mereka lakukan sendiri.
  • Terpacu : 72% gen Z merasa kompetitif terhadap orang yang melakukan perkerjaan yang sama, hal ini membuktikan bahwa gen Z sangat terpacu untuk menjadi yang terbaik.

Melalui keunikan generasi Z yang sudah dijabarkan diatas, dapat disimpulkan generasi ini memiliki sifat praktis, ekspresif, kreatif, kompetitif dan sangat update terhadap hal yang terjadi disekitar mereka. 

Lalu sifat realistis mereka apabila ditinjau dari segi filsafat, mengarah kepada sebuah paham yang dinamakan rasionalisme. Yaitu sebuah paham yang menyatakan bahwa pikiran merupakan sumber kebenaran (Suriasumantri, 2017). 

Artinya, jika datang sebuah pengetahuan baru kepada mereka tetapi dirasa tidak masuk akal , maka mereka pasti tidak akan mau menerima pengetahuan tersebut. Bukankah generasi Z ini sangatlah hebat? Selain kreatif, mereka juga memiliki pemikiran kritis dalam menyaring pengetahuan apa saja yang datang kepadanya.

Lalu apa yang salah selama ini dengan siswa Indonesia?  seharusnya jika umumnya anak Indonesia memang memiliki semua karakter generasi Z tersebut, pastinya skor PISA kita tidak akan masuk kedalam kategori rendah. 

Jika hal seperti ini terus berlanjut, tanpa dilakukan pembenahan. Pertanyaan terbesar yang timbul adalah, bagaimana cara anak-anak Indonesia akan bersaing sepuluh tahun mendatang nantinya dengan kompetitor seusia mereka dalam dunia nyata yang sebenarnya?

Dilansir dari pidato Mendikbud Nadiem Makarim, terdapat empat poin penting yang menjadi penyebab permasalahan ini, yaitu pertama tidak meratanya persebaran guru dan resource berkualitas, umumnya yang berkualitas berkumpul di sekolah dengan status ekonomi yang memadai. Kedua masih tingginya kejadian bullying dan perlunya pendidikan karakater bagi siswa-siswi kita. 

Ketiga, rendahnya kepercayaan diri siswa Indonesia. Dan terakhir, peran orang tua juga dirasa belum maksimal dalam membantu permasalahan ini.

Maka dari itu diperlukan sinergi yang kuat antara pemerintah, sekolah, dan orang tua untuk terciptanya solusi yang tepat. Pemerintah dan sekolah dapat bekerja sama untuk melakukan peningkatan kualitas guru baik dari aspek pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi profesional. Guru harus dapat menemukan metode pendidikan anak dalam perspektif rasionalisme. 

Seperti yang dikemukakan oleh Dewey (1916) "Education is the process of facilitating learning. Knowledge, skills, values, beliefs, and habits of a group of people are transferred to other people, through storytelling, discussion, teaching, training, or research. 

Education frequently takes place under the guidance of educators, but learners may also educate themselves in a process called autodidactic learning". Dalam perspektif rasionalisme, anak merupakan sebuah subjek pendidikan. 

Pendidikan berguna untuk memfasilitasi perkembangan anak untuk mencapai tingkat kedewasaaanya.  Dan perlu diingat pembelajar bisa saja mendapatkan pelajaran dari berbagai macam proses yang dinamakan otodidak. Dari hal ini dapat terlihat, guru dalam menerapkan metode pendidikan bagi anak generasi Z yang rasionalism harus bertindak sebagai fasilitator, biarkan anak menjadi pusat pembelajaran dan berkembang. Selain itu, guru harus :

  • Ahli dalam bidang yang diajarnya : mengingat generasi Z yang aktif dan mudah mendapatkan informasi darimana saja. Pastinya, akan banyak sekali pertanyaan yang akan ditanyakan kepada guru. Dan sebagai guru sudah seharusnya kita dapat meluruskan konsep yang bisa saja keliru pada mereka.
  • Mampu menyampaikan pengetahuan secara terstruktur : mengingat salah satu karakterisitik generasi Z adalah realistis. Seorang guru akan dituntut menyampaikan pembelajaran yang erat dengan kehidupan keseharian mereka dengan konsep yang runtut dan teratur. Sehingga mereka akan merasa 'butuh' untuk mempelajari ilmu tersebut dan mudah dalam memahaminya.
  • Mengikuti perkembangan teknologi dan penelitian terbaru : tidak dipungkiri adanya dukungan teknologi yang mengelilingi generasi Z, menjadikan generasi ini lebih kreatif dalam segala hal. Dan sebagai pendidik, sudah menjadi keharusan untuk dapat mengimbangi kemajuan teknologi yang pesat ini. Guru juga harus memberikan kesan yang uptodate terhadap berbagai perkembangan ilmu yang terjadi di sekitar mereka. 

Selain dilakukan peningkatan kualitas pengajar. Pemerintah juga berperan untuk melakukan pemantauan ketat terkait aktivitas yang terjadi di media sosial khususnya pada anak-anak di usia sekolah agar tidak terjadi cyberbullying yang sedang marak di dunia virtual, mengingat salah satu sifat generasi Z yaitu figital. 

Tak hanya pemerintah, peran orang tua disini sangat diperlukan, karena bagaimanapun juga keluarga yang memiliki peran sangat dekat pada anak-anak tersebut. 

Diperlukan dukungan yang tidak hanya materil tetapi juga dukungan mental, dalam mewadahi aktif nya anak-anak ini, dukung segala bentuk aktivitas mereka yang positif, serta tidak mengotak-ngotakan pemikiran mereka. Seperti sebuah kalimat dari buku World War Z  karya Max Brooks (2006) yang menyatakan, "Generation Z, they cleaned up their own mess". 

Generasi Z sangat suka mengeksplorasi banyak hal, dengan begitu terkadang mungkin timbul beberapa permasalahan akibat tindakan mereka. Tetapi sebagai orang tua, tidak sepatutnya menyalahkan kesalahan seorang anak dan mengakibatkan turunnya kepercayaan diri mereka. 

Malah justru sebaliknya, orang tua dapat membimbing dan meyakinkan kembali mereka untuk menyelesaikan segala sesuatu yang sudah mereka mulai, walaupun terkadang memang tidak mudah.  

Semoga dengan segala usaha yang  dilakukan, dapat meningkatkan kualitas generasi Z Indonesia. sehingga untuk sepuluh tahun mendatang, generasi negara kita mampu bersaing secara kompetitif di kalangan seusianya dalam hal apapun. Ayo semangat berbenah untuk generasi Z Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun