Mohon tunggu...
Audia Azani
Audia Azani Mohon Tunggu... -

Blog: www.ayamsausmelon.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Makan Malam di Istana Presiden, Berdosakah?

21 Mei 2015   17:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:44 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hidup Mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!

Hari ini, 17 tahun yang lalu, senyum kemenangan terlukis di wajah para mahasiswa Indonesia setelah teriakan lantang aspirasi mereka di jalanan dapat menurunkan Presiden Soeharto. Hal ini menandai runtuhnya Orde Baru dan kelahiran orde Reformasi. Hasil yang sedemikian rupa itu didapatkan dengan perjuangan yang tidak mudah. Para mahasiswa seperti harus berhadapan dengan malaikat maut, yang sewaktu-waktu dapat mengambil nyawa mereka. Aksi nekat mereka ditentang dengan senjata. Perjuangan panjang itu akhirnya menghasilkan perubahan yang signifikan dalam pemerintahan Indonesia. Aksi heroik mahasiswa ini bahkan diabadikan oleh Taufiq Ismail dalam puisinya yang berjudul “Takut 66, Takut 98”.

Sampai era kebebasan pers yang merajalela saat ini (sampai saya yang bukan siapa-siapa saja bisa menyampaikan opini di sini), mahasiswa tetap dipandang sebagai sosok yang idealis dan independen. Mahasiswa seperti masuk jajaran penting dalam pemerintahan Indonesia, yaitu sebagai pengawas jalannya pemerintahan serta menjadi agen perubahan. Ketika pemilu presiden 2014 lalu saja teman saya sempat berkata, “Lu bingung milih Jokowi atau Prabowo? Pilih aja yang menurut lu bagus. Kalo emang ntar kinerjanya ngga sesuai harapan, kita kan mahasiswa....”

Baru-baru ini, media dan jejaring sosial tengah diramaikan dengan beredarnya foto para mahasiswa dengan almamater kebanggaannya bersama Presiden Joko Widodo di Istana Presiden. Usut punya usut, ternyata para mahasiswa ini adalah jajaran aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang diundang ke Istana Presiden untuk berdialog secara langsung dengan Presiden Jokowi.

Seandainya saya adalah seorang penulis di media dan memberitakan peristiwa tersebut dengan kalimat yang saya tebalkan, mungkin tidak ada pro dan kontra yang terjadi saat ini. Yang saya sayangkan, beberapa media cenderung menjadi berat sebelah saat memberitakan peristiwa ini sehingga apa yang diberitakan memprovokasi para pembaca. Media-media ini menitikberatkan pada “penjamuan makan malam” dibandingkan dengan “berdialog secara langsung”. Padahal, sudah jelas inti dari pertemuan tersebut adalah dialog, bukan makan malamnya. Sehingga yang saya lihat saat ini bahwa media hanya ingin membuat berita sensasional, bukan menyampaikan berita objektif yang seharusnya memfasilitasi pembaca untuk menilai sendiri kegiatan yang dilakukan para aktivis tersebut, bukan untuk memprovokasi.

Berdosa tidaknya mahasiswa tersebut dalam menerima makan malam presiden di Istana Negara, hanya Tuhan yang tahun. Kita tidak dapat sembarangan menghakimi perbuatan mereka. Banyak yang akhirnya tersulut emosinya dan mengatakan “idealisme mereka ditukar dengan sepiring nasi”, “pelacur intelektual”, “gampang disuap”, dan lain-lain. Saya menganggap penghakiman ini tidak tepat jika ini berdasarkan kesimpulan yang mereka dapat dari media tadi, tanpa mau mengklarifikasi tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh para aktivis tadi.

Namun, jika kita renungkan, bukankah berdialog secara langsung dengan presiden lebih efektif dibanding dengan terus-terusan berdemo di jalan? Bukankah aspirasi mahasiswa dan rakyat dapat lebih efektif disalurkan karena sudah pasti akan diterima oleh presiden secara langsung? Tidak bisa orang-orang langsung membandingkan perjuangan mahasiswa pada tahun 1998 yang saat itu bertemu Presiden Soeharto saja sulitnya minta ampun dengan Presiden Jokowi yang bersedia melakukan dialog secara langsung. Ibaratnya, kalau memang ada cara yang lebih mudah, ngapain susah-susah?

Lagi pula, jika Presiden Jokowi tidak memberi jamuan makan kepada para mahasiswa yang merupakan TAMU di Istana Presiden, bukankah Jokowi bakalan tidak pantas menjadi pemimpin karena tidak menerapkan Sunnah Rasul yang memerintahkan umat Islam untuk memuliakan tamu? Kalau memang Jokowi mampu untuk memberi jamuan, kenapa nggak? Soal itu uang siapa, wallahu a’lam.

Setidaknya, untuk peristiwa ini, hendaklah disikapi dengan kepala dingin. Jangan hanya suudzon dan menuduh yang macam-macam. Bentuk provokasi dari media jangan sampai menjadi pemecah-belah persatuan yang dibangun di antara para mahasiswa. Jika melalui cara ini dapat membuahkan hasil yang lebih baik, kenapa tidak?

Hidup Mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!

Selamat menikmati kebebasan pers.

Pondok Betung, 21 Mei 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun