Sejak dilantiknya Susi Pudjiastuti sebagai Mentri Kelautan dan Perikanan (KKP) di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo, praktis Bu Susi menjadi buah bibir di jagad maya. Pasalnya, hanya karena beliau cuma memiliki ijazah SMP. Belum lagi, beliau memiliki tatto dan perokok.
Sebagai sesama perempuan, tentunya saya kurang suka melihat perempuan merokok. Bukannya saya anti terhadap para perokok lho ya. Teman-teman saya yang kebanyakan lelaki juga perokok. Namun demikian, tak pula saya harus menjadi penceramah terhadap mereka yang perokok toh? Perempuan dan lelaki perokok, tentunya lebih banyak efek negatifnya (penyakit). Mengenai penyakit yang akan diderita, saya rasa tak perlu saya tuliskan lagi, kan?
Bu Susi, Ijazah SMP, Rokok, Tatto dan Kinerjanya
Kembali ke kebiasaan Bu Susi yang oleh kebanyakan orang dianggap negatif, buat saya pribadi, hal-hal seperti itu tak mutlak harus menjadi contoh buat anak-anak kita, kok. Kalau kita merasa anak-anak akan terpengaruh sama aktivitas merokoknya Bu Susi yang memang pejabat negara, saya rasa itu memang kekhawatiran wajar dari setiap orang tua. Tapi maaf, buat saya itu terlalu berlebihan.
Kok gitu? Bagaimana gak berlebihan. Si Ibu kan baru 2 hari ini terlihat di media. Kalau perokok, sudah bertahun-tahun toh? Harusnya anak kita orang Timur yang memang kadang sampai dewasa masih menjadi tanggung jawab kita, ya kita jaga dong dari pengaruh buruk lingkungan. Kalau perlu, batasi saja pergaulannya. Semisal, masukkan saja si anak ke sekolah agama yang biasanya banyak positifnya. Mungkin dengan begitu, orang tua tidak perlu was-was lagi :)
Saya cuma menyarankan, untuk Bu Susi atau siapa pun orang-orang berprestasi, lihatlah kinerjanya dengan membuka mata kita lebar-lebar untuk melihat profilnya, prestasinya, dan segala tindak tanduk positifnya buat negara. Bukannya malah jor-joran ngomongin di media sosial tentang si Ibu.
Belum lagi soal ijazah SMP-nya. Banyak yang nyinyir mungkin akan bilang, tak usah sekolah tinggi-tinggi untuk bisa menjadi mentEri. Wah.... tentang ijazah ini kan sudah dikatakan penyebabnya, saya rasa cuma orang picik yang akan membahas hal-hal beginian.Yang namanya sekolah, memang tetap harus dilanjutkan selama masih mampu. Teman-teman saya waktu kuliah kemarin juga banyak om-om dan tante-tante kok.
Tulisan singkat ini sebenarnya bukan mau bela Bu Susi. Apalagi saya kan gak dibayar sama Kompasiana buat ngebaik-baikin si ibu.
Kalau boleh jujur, seharian kemarin saya suntuk lihat beranda Facebook ribut melulu gara-gara Bu Menteri yang SMP, merokok, dan tattoan. Namun demikian, fakta yang tersaji mengenai hal-hal positif dari Bu Menteri adalah berbeda dari kebanyakan.
Yang menghujat dia, maunya mikir, Bu Susi sudah melakukan ini untuk membenahi birokrasi di kementeriannya, Lha situ... untuk keluarga sendiri, sudah maksimal belum yang dilakukan? Konon lagi untuk negara sebesar ini, toh?
Kalau mau menghujat, tunggu dulu. Berikan waktu dia bekerja. Kalau memang nanti dirasakan tak bagus, silahkan saja para ibu demo turun ke jalan. Gak usah koar-koar di Media Sosial, si ibu juga gak temanan sama kita toh? Kalau perlu, mention saja langsung ke Twitter atau telepon langsung ke nomor Hp-nya yang sudah disebar ke mana-mana. Lebih fleksibel gini dari pada capek menghujat di Facebook tapi gak didengarkan.