Mohon tunggu...
Auda Zaschkya
Auda Zaschkya Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan. Pernah jadi wartawati.

Realita adalah Inspirasiku Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Polemik Bendera : Pengalihan Isu Kesejahteraan Masyarakat dan Korupsi di Aceh?

1 Agustus 2013   06:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:46 1237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13753102971366335085

[caption id="attachment_278736" align="aligncenter" width="565" caption="http://www.tribunnews.com/regional/2013/07/26/pemerintah-cuma-ingin-bendera-aceh-diubah-sedikit"][/caption]

Sejak dikeluarkannya Qanun No. 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh oleh Pemerintah Aceh pada Maret 2013 lalu, perundingan antara Pemerintah Republik Indonesia - Pemerintah Aceh terkait bendera bulan bintang untuk menjadi bendera Aceh masih saja harus diperpanjang.

Pertemuan tertutup Rabu (31/7) yang dikatakan sebagai pertemuan akhir sebelum bendera tersebut di-Lauching pada peringatan 8 tahun perjanjian MOU Helsinki 15 Agustus 2013 mendatang, belum juga mendapati satu kata sepakat.

Kedua belah pihak masih sama-sama memegang teguh prinsip masing-masing, padahal perundingan sejenis telah dilakukan beberapa kali di berbagai tempat berbeda. Seperti Banda Aceh dan Jakarta yang sudah pasti karena masing-masing pihak berdomisli di kedua kota tersebut. Selanjutnya, ada juga yang dilakukan di Makassar, Bogor, dan Batam. Oleh karena kemarin siang (31/7) belum ada kesepakatan apa-apa, maka kedua belah pihak sepakat untuk memberi jeda lagi untuk pembahasan ini seusai lebaran nanti.

Pihak Pemerintah Aceh, masih teguh pada pendiriannya yang mana menginginkan bahwa Benderanya tetap seperti Bendera mantan gerakan separatis, sedikit berbeda dengan keinginan Pemerintah Indonesia. Melalui Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri), Pemerintah Republik Indonesia tetap pada pendiriannya semula, guna mengusung semangat MOU Helsinki di mana Penetapan Lambang dan Bendera Aceh yang di kesepakatan (perjanjian) Helsinki poin 4.2, yang pada pokoknya simbol-simbol menyerupai GAM tidak boleh digunakan seperti yang dikatakan oleh Gamawan Fauzi pada (28/5) lalu.

Hal senada juga dikatakan Mantan Negosiator Perundingan antara Pemerintah RI – GAM yang juga merupakan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Beliau mengatakan, “Saya kira akan segera selesai. Kompromi itu, jalan tengah. Prinsipnya Bendera Aceh itu jangan sama persis dengan GAM, bahwa maknanya, filosofisnya sama, itu boleh saja. Itulah kompromi. Yang paling penting rakyat Aceh inginkan perdamaian dan kesejahteraan. Jadi janganlah habis waktu hanya untuk bicarakan soal simbol-simbol, sehingga lupa untuk menyelesaikan persoalan pokoknya yakni kesejahteraan,” tandasnya.

Setelah berbulan-bulan dan berpindah-pindah tempat dilakukan demi menyatukan visi dan misi atas Bendera tersebut yang juga belum memperoleh hasil yang memuaskan bagi kedua belah pihak, tampaknya seorang Martti Ahtisaari harus turut dihadirkan lagi.

Sebagaimana yang diketahui, beliau adalah pemimpin tim mediasi antara Pemerintah Indonesia-GAM pada perjanjian yang belangsung 15 Agustus 2005 di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dirjen Otonomi khusus, Djohermansyah Djohan pada Jum’at (26/7), "Kalau Pemerintah Daerah Aceh dan DPR Aceh tetap `ngotot`, kami akan meminta bantuan Martti Ahtisaari untuk membicarakan butir-butir terkait dalam Perjanjian Helsinki."

*

Senada dengan ucapan Bapak Jusuf Kalla di atas, pada tulisan saya tanggal 25 Juli 2013 yang lalu, saya juga sudah mengatakan bahwa hal pokok yang harus dipentingkan adalah memperhatikan kesejahteraan rakyat provinsi Aceh sendiri.

Sejujurnya, saya menuliskan hal tersebut bukan untuk membenturkan kasus Bendera dengan kesejahteraan masyarakat. Namun terlebih pada rasa keprihatinan saya yang cukup besar kepada saudara-saudara saya di sana yang masih berkehidupan tidak layak, terutama di desa-desa yang belum tersentuh pemerintah secara merata. Mengapa demikian?

Dari 21 janji pada masa kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih pada Pemilukada Aceh 9 April 2012 lalu, belum ada satu pun yang terealisasi dengan baik. Maka tak heran pada 20 Mei 2013 lalu, sejumlah masyarakat, mendatangi kantor Gubernur Aceh guna menuntut janji tersebut. Logikanya saja, jika mereka telah diberikan janji pemerintah itu, mereka tidak akan menuntut lagi, bukan?

Rakyat Aceh yang merupakan korban konflik hingga tsunami, masih banyak yang belum berkehidupan yang layak. Tingkat perekonomian mereka masih sangat minim, terlebih bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Mungkin janji Gubernur Zaini Abdullah dan Wakilnya, Muzakkir Manaf yang pernah mengatakan akan memberikan Rp 1.000.000,00/KK/bulan secara Cuma-Cuma dari hasil Migas, tampaknya sulit dipenuhi, konon lagi kesejahteraan yang merata bagi seluruh masyarakat, bukan? Mungkin alangkah baiknya, berikanlah mereka pancing (kail) agar mereka berusaha sendiri demi kelangsungan hidup mereka.

Yang tak kalah penting dari realisasi janji tersebut adalah kasus korupsi yang bagai macan tidur diam-diam menerkam Provinsi Aceh di mana menurut data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Provinsi Aceh merupakan provinsi terkorup kedua untuk tahun 2013 ini, menemani Provinsi Sumatera Utara di puncak. Tentunya ini prestasi yang “gemilang”, bukan? Kasus korupsi ini cukup mencengangkan bagi saya pribadi, di mana banyaknya masyarakat yang belum sejahtera di Aceh sana, tetapi masih saja ada mereka yang melakukan korupsi.

Yang pasti, BPK RI telah menemukan adanya kecurangan pada pelaksanaan proyek APBD Aceh 2012 lalu yang mana banyaknya aset pemerintah Aceh yang hilang dan belum tahu di mana rimbanya. Pengelolaan keuangan Aceh sarat dengan dengan masalah, serta tidak ada itikat baik Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan anggaran dengan baik. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Koordinator Bidang Adovokasi Publik Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Hafidh. Berdasarkan data hasil audit BPK RI, pemerintah Aceh hanya mampu mendapatkan predikat WDP (Wajar Dengan Pengecualian).

Sebagaimana yang telah saya tuliskan di atas, persoalan Bendera itu  belum juga diperoleh kata sepakat dari hasil perundingan kemarin (31/7). Maka diberikan jangka waktu untuk evaluasi Qanun No. 3 Tahun 2013 itu hingga 15 oktober 2013 mendatang. Jadi, Permintaan Mendagri, Gamawan Fauzi untuk tak mengibarkan Bendera di Aceh tanggal 15 Agustus mendatang juga diamini oleh Gubernur Zaini Abdullah yang menghimbau kepada seluruh masyarakat Aceh untuk tidak mengibarkan Bendera tersebut dalam memperingati 8 Tahun MOU Helsinki pada 15 Agustus 2013 nanti.

Selanjutnya, adanya korupsi di Bumi Serambi Mekkah ini hendaknya menjadi perhatian khusus dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membersihkan daerah ini dari praktek korupsi yang dilakukan secara perorangan maupun berkelompok oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang mana dana tersebut dapat digunakan demi kesejahteraan masyarakat Aceh sendiri. Kasihan masyarakat korban konflik kemanusiaan itu,  mereka tak dapat melakukan hal lain demi kelangsungan hidupnya dikala hak mereka terus digerus oleh pemilik proyek atau pejabat di sana.

Sudah cukup derita kami anak Aceh yang lebih kurang selama 30 tahun berada dalam ketakutan akibat konflik yang berkepanjangan. Wahai pemimpin sekalian, lakukanlah ini demi Aceh yang lebih baik dan demi janji setia dan perdamaian antara GAM dan pemerintah RI dalam MoU Helsinki 8 Tahun lalu yang mana Eks. GAM telah berjanji setia untuk tetap berada di pangkuan Ibu Pertiwi. Semoga selain evaluasi dalam hal Bendera, pemerintah Aceh juga dapat menindak tegas pelaku korupsi dan menyerahkan semuanya secara transparan ke KPK.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mendengar aspirasi rakyatnya. Dan keinginan utama seluruh rakyat Aceh (bukan cuma sekelompok) adalah kesejahteraan hidupnya, bukan hanya Bendera yang menjadi tuntutan utama mereka, meskipun saya tahu, bendera ini merupakan jati diri sekaligus harga diri bagi sebagian rakyat Aceh, namun alangkah lebih baik jika kita mengingat bahwa ada orang lain yang tidak menyetujui Bendera itu.

Semua pihak tentunya berharap, jangan sampai masalah Qanun Bendera dan Lambang Aceh ini hanya menjadi pengalihan isu atas ketidaksanggupan Gubernur dan Wakilnya untuk merealisasikan ke 21 janjinya tersebut demi kesejahteraan masyarakatnya, dan bukan pula untuk menutupi kasus korupsi yang sudah menjadi borok di Aceh.

Bukankah mementingkan kesejahteraan masyarakat lebih baik ketimbang mementingkan egoisitas diri pribadi? [AZ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun