Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo
FX Aris Wahyu Prasetyo Mohon Tunggu... -

Penulis di berbagai media seperti Kompas, Lampung Post, Wawasan, Suara Merdeka, dan Pontianak Post. Saat ini menjadi kontributor tetap untuk Majalah PsikologiPlus. Dan, pendidik di Kolese Loyola Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lowongan: Menteri Pendidikan, Kepala Dinas Pendidikan, Ketua Yayasan, dan Kepala Sekolah

27 Agustus 2013   06:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:46 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dag Hammarskjold, seorang negarawan serta pemenang hadiah nobel perdamaian, pernah mengatakan, “Jangan pernah menyangkal pengalaman atau keyakinan Anda sendiri demi kedamaian serta ketenangan”. Hal ini ingin menempatkan pada sebuah kesadaran bahwa pengalaman merupakan sebuah fakta yang tidak bisa ditolak. Seperti apapun pengalaman, baik atau buruk, tetaplah sebuah peristiwa yang terjadi dan membekas di pikiran serta hati yang mengalaminya.

Menyangkal pengalaman sama saja menghabiskan waktu dengan sebuah kesia-siaan. Hal itu sama halnya telah melewatkan masa depan yang harusnya sudah terjadi di saat penyangkalan terus berlangsung. Sebenarnya bukan kedamaian dan ketenangan yang akan didapat dari sebuah penyangkalan tetapi justru keresahan dan kegundahanlah yang akan terus-menerus menghantui hidup manusia. Tiba saatnya penyangkalan digantikan dengan sebuah aksi nyata ke depan.

Pemimpin sejati tidak akan menghabiskan waktunya untuk menyangkal kenyataan apapun tentang dirinya dan apapun yang sudah dikerjakan. Bahkan pemimpin sejati siap mengakui bahwa dirinya telah melakukan kesalahan atau kegagalan dengan sportif, bukannya sibuk melemparkan seribu alasan yang tak menentu arah dan tujuannya.

Dalam buku “The 21 Indispensable Qualities of A Leader” karya John C. Maxwell dikisahkan bahwa Bill Lear adalah penemu, penerbang, pemimpin bisnis, dan sekaligus pemegang lebih dari seratus lima puluh hak paten pesawat Lear Jet. Di tahun 1950-an ia sudah melihat peluang untuk memenuhi kebutuhan perusahaan dengan membuat jet berukuran kecil. Akhirnya pada tahun 1963, pesawat Lear Jet yang pertama pun diluncurkan. Dan pada tahun 1964 ia berhasil mengirimkan jet produksinya yang pertamakepada seorang klien.

Lear sukses dan berhasil menjual banyak pesawat di masa itu. Tidak lama kesuksesan itu berlangsung, dua pesawat yang dibuatnya jatuh tanpa diketahui penyebabnya. Padahal sudah sekitar lima puluh lima Lear Jet dibeli untuk keperluan pribadi. Dia sangat sedih dan merasa hancur berantakan. Namun Lear segera bangkit dan mengirim kabar ke seluruh pemilik pesawat untuk tidak menerbangkan pesawatnya sampai ia menemukan penyebab kecelakaan itu. Tentunya hal ini membuat Lear menderita kerugian besar bahkan lebih dari itu ia telah mempertaruhkan kepercayaan para pemilik pesawat.

Akhirnya Lear berhasil menemukan penyebab kecelakaan pesawat itu bahkan ia pun telah mengambil resiko dengan melakukan uji coba sendiri yang nyaris merenggut nyawanya. Namun dari tekadnya itu, ia berhasil mengembangkan suku cadang baru untuk mengatasi masalah dan memasangnya di pesawat-peswat yang sudah terjual. Kisah ini menunjukkan betapa besar jiwa kepemimpinan Lear. Ia tidak menghabiskan waktunya untuk menyangkal atau malah mencari kambing hitam dari kecelakaan pesawat buatannya tetapi dia segera melakukan aksi nyata menemukan solusi terbaik atas masalah itu.

Konteks Pendidikan

Kata “bodoh” sering terdengar di ruang kelas dalam dunia pendidikan kita. Guru dengan mudah mengatakan “bodoh” ketika seorang anak tidak bisa mengerjakan soal atau tidak mampu menjawab pertanyaan guru dengan benar. Ketika para siswa nakal dan mendapat nilai jelek, guru dan juga orang tua dengan mudah memberi cap “Dasar Anak Bodoh”.

Benarkah anak-anak itu Bodoh? Jangan-jangan mereka hanya kurang beruntung saja tidak memiliki guru dan orang tua yang mampu memahami potensi mereka. Jangan-jangan mereka hanya kurang beruntung tidak mendapat guru dan orang tua yang tepat.

Mengapa para guru dan orang tua tidak belajar dari sosok Bill Lear? Dengan mengatakan atau memberi cap “bodoh”, apakah memberi solusi bagi perkembangan anak-anak? Kecenderungannya adalah semakin memperparah keadaan dan anak-anak semakin tertekan. Belajar dari Lear, sudah saatnya guru dan orang tua tidak menyangkal keadaaan tetapi justru melakakukan aksi nyata untuk sebuah solusi jitu yang mengembangkan.

Sosok guru John Keating dalam Film Dead Poets Society dapat menjadi sebuah model ideal tentang bagaimana menerima keadaan anak didik dengan berbagai karakter lalu mengembangkannya menjadi anak-anak yang penuh dengan potensi. Laskar Pelangi atau Denias juga telah mengajarkan bagaimana sosok guru yang teguh dan setia mengembangkan kemampuan anak-anak di pedalaman dengan segala kekurangannya, baik secara material maupun kognitif. Belum lagi sosok guru wanita dalam Freedom Writers harus berjuang dengan heroik dan tragis untuk memperjuangkan anak-anak pinggiran dan brandal agar menjadi anak-anak yang lebih humanis dan mencintai hidup mereka.

Sekarang semakin jelaslah bahwa menyangkal pengalaman dan kenyataan hanyalah sebuah kesia-siaan belaka. Justru ada mutiara yang hebat ketika segera menerimanya dan mengusahakan yang terbaik sebagai solusi. Dan menerapkan semangat ini ke dalam dunia pendidikan adalah sebuah impian untuk menciptakan “surga edukasi”. Kini saatnya memasang lowongan di berbagai media, “ Dibutuhkan: Menteri Pendidikan, Kepala Dinas Pendidikan, Ketua Yayasan, dan Kepala Sekolah yang siap menerima keadaan dan mempertaruhkan segalanya demi kemajuan pendidikan nasional”. SEGERA.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun