Kasus antara Polri dan KPK nampaknya masih menjadi buah bibir di masyarakat, bagaimana tidak? Kedua institusi negara ini yang seharusnya berkerjasama memberantas kejahatan tapi sekarang malah saling serang melayangkan tuduhan. KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dengan tuduhan rekening gendut miliknya dan selanjutnya Polri menetapkan wakil ketua KPK sebagai tersangka dengan tuduhan memerintahkan saksi sengketa Pilkada Kotawaringin Barat bersumpah palsu. Kasus ini hampir mirip dengan Cicak Vs Buaya yang sebelumnya telah terjadi, kejadian yang mengangkat nama Chandra M. Hamzah dan Susno Duadji adalah salah satu cerminan perseteruan yang terjadi beberapa waktu lalu antara KPK dan Polri.
Perbedaan aturan penetapan tersangka antara KPK dan Polri memicu konflik, pasalnya dalam penetapan tersangka di KPK tidak perlu didahului dengan pemanggilan dahulu, polisi merasa aturan KPK dalam penetapan tersangka menyalahi prosedur. Sedangkan, aturan di polisi dalam menetapkan tersangka harus didahului dengan adanya pemanggilan. Oleh sebab itu Budi Gunawan merasa penetapan status tersangka kepada dirinya tidak sah, sehingga mengajukan permohonan praperadilan terhadap ditetapkannya status tersangka oleh KPK kepada dirinya.
Apa yang terjadi di negara Indonesia yang (katanya) negara hukum, menjunjung tinggi nilai keadilan. Setelah beberapa hari setelah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka akhirnya mendapatkan putusan, keputusan praperadilan hakim tunggal, Sarpin Rizaldi, dalam kasus polisi Komisaris mengabulkan gugatan Budi Gunawan dan menyatakan penetapannya sebagai tersangka tidak sah dan tidak bersifat mengikat secara hukum. Kita semua pasti bertanya-tanya, “Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah ini adil? Padahal KPK sudah menemukan bukti yang cukup tentang rekening gendut milik Budi Gunawan”. Memang banyak masyarakat yang tidak terima dengan penetapan yang dibuat oleh hakim Sarpin, pada dasarnya dalam proses praperadilan, penegak hukum harus teliti dan hati-hati dalam penentuan tersangka, sehingga prioritas keadilan yang cepat, efisien dan terjangkau dapat dicapai.Seharusnya kasus pidana ini harus di proses dengan tepat dan efektif, tidak terlihat tergesa-gesa dalam menentukan keputusan, terlebih lagi Abraham Samad dan Bambang Widjojanto menentang status mereka sebagai tersangka seperti yang telah Budi Gunawan lakukan. Hakim seharusnya lebih teliti lagi dalam memutuskan perkara, hakim harus mempertimbangkan aspirasi pihak untuk mencari keadilan dalam sengketa, hakim harus menempatkan dirinya dalam posisi di atas semua kepentingan lain dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, dan membebaskan diri dari segala pengaruh eksternal lainnya.
Bagaimanapun juga keputusan telah ditetapkan, kita harus berlapang dada dan menghormati keputusan tersebut dan kasus ini belum berakhir karena sesungguhnya keadilan dan fakta akan terungkap pada akhirnya. Semua masyarakat pun sudah bisa menilai apa yang terjadi di dalam drama antara Polri dengan KPK ini, apakah ini permainan politik belaka? Sudahlah, semua itu tergantung pandangan masing-masing individu. Seringkali kita mendengar bahwa hukum di Indonesia ini “tajam kebawah dan tumpul keatas” hal ini bukan kesalahan dari sistem yang ada, hanya saja orang-orang di dalam penegak hukum yang kurang tegas dan terlihat lembek bila berurusan dengan uang juga kekuasaan. Maka harapan penulis, semoga hubungan antar lembaga penegak hukum khusunya Polri dan KPK dapat saling bersinergi, sehingga penegakan hukum dapat berjalan sesuai harapan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H