Setelah perhelatan politik dalam negeri yang menyita perhatian, kita kembali pada dinamika yang terjadi di tanah air. Selain politik, yang juga menarik perhatian kita semua adalah soal terorisme. Awal 2024 saja, aparat berwenang dalam hal ini Densus 88 telah menangkap sekitar 100 orang terduga teroris di seluruh Indoensia. Terduga teroris ini tidak hanya berusia tua (senior) namun juga ada yang masih berstatus sebagai pelajar dan perempuan.
Dua terakhir yaitu pelajar dan perempuan, adalah hal menarik perhatian kita. Kita mungkin masih ingat seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkenal di Malang diciduk aparat karena secara aktif dan massif mengumpulkan dana untuk perjuangan ISIS. ISIS memang sudah kalah melawan pemerintah Suriah, namun mereka masih melakukan kegiatan untuk mewujudkan impiannya membangun kekhalifahan yang mereka gembor-gemborkan ke seluruh dunia.
Kedua, yaitu seorang pelajar yang juga bertempat tinggal di Malang diciduk aparat karena ternyata di rumahnya, dia menimbun sekian banyak bahan kimia, sebagai bahan utama untuk bahan peledak. Pada pendalaman yang dilakukan oleh pihak kepolisian didapat bahwa bahan peledak itu akan segera dirakit dan akan diledakkan di dua rumah ibadah di Malang. Â Kita mungkin juga masih ingat seorang ibu dalam keluarga yang terlibat pada pengeboman tiga gereja di Surabaya yang dilakukan oleh satu keluarga, ayah ibu dan anak-anaknya. Peristiwa itu begitu spektakuler dan menjadi trauma tersendiri bagi penduduk Surabaya yang sangat egaliter.
Kita patut mencermati, kenapa hal itu terjadi pada anak yang masih belia dan perempuan. Selain kemudahan teknologi ada beberapa hal menjadi penyebab, kenapa pelajar (termasuk mahasiswa) terjerembab pada hal-hal yang berbau radikal dan kemudian lebih jauh, adalah terorisme.
Faktor hubungan interpersonal agaknya yang mendominasi fenomena. Kita bisa melihat bagaimana sang ibu dalam keluarga pelaku pengebom tiga gereja di Surabaya, tunduk pada apa yang sudah diputuskan oleh sang suami,ayah anak-anak mereka.
Selain factor keluarga, factor lingkungan atau personal dimana mereka berinteraksi, juga berkemungkinan membentuk personal yang radikal. Kajian-kajian, lalu pengajian dan komunitas tertentu yang memungkinkan mereka yang tertarik pada faham transnasional yang cenderung radikal itu.
Dengan deskripsi di atas, kita bisa paham bahwa sudah seharusnya masyarakat dan kita, bersama-sama menjaga remaja dan perempuan dari jerat aktivitas radikal. Jika mungkin sebelum faham trans itu mencengkeram mereka dengan kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H