Mohon tunggu...
Kinar Set
Kinar Set Mohon Tunggu... Pustakawan - rajin dan setia

senang belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelarangan HTI adalah Harga Mati

6 Juli 2024   20:16 Diperbarui: 6 Juli 2024   20:16 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang berbeda dengan situasi kita puluhan tahun lalu dengan sekarang. Pasti orang merujuk pada reformasi dan kemajuan teknologi. Padahal bukan hal itu saja yang berubah.

Ada aura kebangsaan kita yang agak berbeda dibanding beberapa tahun sebelumnya. Jika pada setiap hari raya kita selalu menyediakan waktu untuk bersilturahmi bahkan dengan umat dengan keyakinan berbeda , atau sekadar datang ke rumah pada saat perayaan umat beragama lain, kini itu tak ada lagi ditemukan.

Mungkin di beberapa tempat  (pelosok pesesaan) hal itu masih ditemukan. Kita bisa melihat seperti di beberapa tempat di Jawa Tengah, atau beberapa tempat di Bali, hal itu masih terjadi. Di beberapa provinsi lain, hal itu sudah tidak ada lagi. Yang terjadi ada toleransi yang bersifat artifisial, cenderung palsu atau terjadi pada saat-saat tertentu dan tidak dari hati.

Tolerasi artifisial bahkan gerakan radikal juga tak lepas dari pengamatan tokoh toleransi dan pluralisme, Gus Dur. Beliau sadar bahwa gerakan radikal merembes ke Indoensia dan di kemudian hari akan mengancam persatuan Indoensia dengan bersalut ajaran agama namun sejatinya membawa tone intoleransi.

Kekhawatiran itu memang terjadi. Ideologi transnasional yang selama orde baru bergerak dibawah tanah muncul dengan sendirinya saat era reformasi dan ternyata sudah menyebar ke banyak bidang. Mereka punya tokoh-tokoh panutan yang tersebar di banyak bidang. Para panutan ini mulai menyebarkan narasi soal intoleransi yang dia klaim sebagai menjaga marwah agama; menjaga gama dari hal-hal menyimpang dan sesat . Namun kita mendapati kemudian bahwa penafsiran soal menjaga itu tidak tepat dan tidak seperti yang diharapkan ajaran agama itu sendiri.

Hal ini bisa kita lihat pada fenomena Hisbut Tahrir Indoensia (HTI) yang secara gamblang bisa menerangkan fenomena. Intoleransi ini. HTI yang sudah dibubarkan pemerintah berusaha untuk menjaga keyakinan soal pentingnya syariat Islam dan adanya  khilafah Islamiyah dengan mempengaruhi generasi muda.

Ketidaksetujuan Indonesia akan HTI sejatinya  bukan sesuatu yang istimewa. Malaysia yang juga punya penduduk mayoritas beragama Islam juga melakukan pelarangan terhadap HT karena dianggap sebagai kelompok menyimpang. Pemerintah negara itu mengatakan bahwa siapapun yang mengikuti gerakan pro khilafah ini akan berhadapan dengan hukum.

Kita juga harus bersikap tegas seperti. Apalagi ormas ini terlihat menantang karena menyatakan akan tetap beraktivitas meski jelas-jelas sudah dilarang pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun