Sejak kemerdekaan Indonesia, soal kebangsaan dan keagamaan adalah hal klasik yang ada dalam sejarah Indonesia. Relasi antar keduanya rentan karena ikhwal agama dalam politik kebangsaan sering mematik polemik dan perdebatan. Sampai akhirnya semuanya sepakat bahwa Pancasila dan negara kesatuan Republik Indonesia adalah titik temu antara keduanya.
Di tingkat ormas kebangsaan -soal agama dan kebangsaan- polemik soal keduanya telah mencapai titik temu, Pancasila sebagai falsafah negara diakui penih melalui Muktamar Nahdatul Ulama ke 27 tahun 1984.
Melalui perjalanan kebangsaan yang penuh dengan lika liku dimana kita sudah mengalami orde lama, orde baru sampai era reformasi sekarang ini, seharusnya kita menjadi warga negara yang dewasa. Dewasa dalam arti tidak lagi mempersoalkan hal-hal klasik yang seharusnya itu sudah selesai. Perbedaan dalam hal agama dan kebangsaan, suku dan beberapa perbedaan seharusnya bisa diterima dengan lapang dada. Kita tidak bisa mempersoalkan hal yang sudah usai, karena sama saja kita berjalan di tempat.
Seperti momentun lima tahunan seperti pemilu presiden 2024. pada pemilu 2014 dan 2019 kita menghadapi pemilu yang begitu membelah kita karena politik identitas yang dipakai sebagai alat meraih kekuasaan. Kita tahu bersama bahwa politik memang terkadang dimanfaatkan untuk memanipulasi isu-isu keagamaan  guna memperoleh keuntungan politik. Sebaliknya, otoritas agama digunakan untuk mendelegitimasi komitmen kebangsaan kita di Indonesia.
Ini menciptakan sesuatu yang mengerikan yaitu polarisasi dan ketegangan yang luar biasa dari warga masyarakat. Ini memakan energi yang banyak. Kita ingat pemilu 2019 yang sebelumnya Pilkada 2017, dampak ketegangan antar warga itu amsih saja terjadi hingga beberapa tahun setelahnya karena ada beberapa pihak yang memprovokasinya.
Kini kita berada pada suasananya yang seharusnya lebih landai dibanding beberapa pilpres sebelumnya. Seharusnya rekonsiliasi antar warga bisa terjadi dengan segera karena para elit juga sudah melakukannya serupa. Jangan sampai ada pihak-pihak yang terus-menerus mengipas-ngipasi agar kita selalu berseteru. Konyolnya lagi, bahannya dicari-cari.
Bagaimanapun kita perlu melakukan rekonsiliasi karena kita harus merawat identitas nasional yang sangat dikagumi masyarakat internasional, yaitu bahwa bangsa kita pandai mengelola perbedaan yang sangat kompleks. Jangan sampai kebanggaan itu pudar dan runtuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H