Mohon tunggu...
Kinar Set
Kinar Set Mohon Tunggu... Pustakawan - rajin dan setia

senang belajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Sampai Harmoni Dirusak Tafsir-tafsir Sempit

16 April 2024   22:49 Diperbarui: 16 April 2024   22:51 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah salah satu negara dengan umat Islam terbesar di dunia. Dalam percaturan dunia, selain sebagai negara demokrasi dan menjadi anggota PBB, kita juga menjadi anggota OKI, sebuah organisasi negara-negara muslim. Di OKI, pendapat dari para diplomat kita sangat dipertimbangkan dan berperan besar untuk mewujudkan kedamaian dunia,. Ini kita bisa liat pada usaha-usaha para diplomat dan menteri luar negeri sendiri yang punya peran besar dalam usaha meredakan perang Israel Palestina.

Negara lain amat menghargai Indonesia karena sadar bahwa mengelola bangsa dengan berbagai perbedaan tidaklah mudah. Memang secara angka, Indoensia punya umat muslim yang dominan, namun kita punya warga negara dengan keyakinan, etnis, bahasa bahkan warna kulit yang berbeda. Namun kita bisa mengelola perbedaan itu dengan baik.

Namun kadang kita merasa, dalam dua dekade ini kita agak direcokin dengan beberapa pihak yang malah menonjolkan perbedaan dibanding persatuan bangsa. Mereka sering mempersoalkan kearifan lokal yang sudah berakulturasi dengan keyakinan. Ini tidak membentuk agama baru atau bersuaha menyimpang dari agama, tetapi hanya satu cara di masa lalu agar Islam diterima oleh warga nusantara yang saat itu banyak menganut hindu budha.

Kedatangan Islam di Nusantara di masa lalu, kita tahu tanpa melalui jalan kekerasan peranga tau hal lain yang negatif. Penyebar agama saat itu yang kita kenal di Jawa yang bernama Wali Songo memang sangat mempertimbangkan faktor budaya. Mereka memperhatikan dan menggunakan budaya setempat untuk memasukkan ajaran-ajaran agama, tanpa mengubah nilai agama itu sendiri.

Sunan Kalijaga misalnya .  Sunan dengan nama asli Raden Mas Said ini lahir di Tuban  dan banyak menyebarkan agama iSlam di pesisir utara pulau Jawa sampai akhirnya meninggal di Kadilangu. Pada masa bliau menyebarkan agama, aliran budha hindu amat dominan di sana dan Sunan Kalijaga berstrategi dengan menyebarkan agama melalui wayang karena pada masa  itu, wayang adalah hal yang sangat digemari.

Sunan Kalijaga juga mengambil kedekatan warga dengan Janur dan menciptakan ketupat sebagai simbiolisasi kesalahan yang memang harus dimusnahkan setelah menjalani puasa selama sebulan penuh. Ketupat yang dimakan adalah esensi dari mengaku lepat Isalah). Sehingga bermaafan pada hari raya Idul Fitri bukanlah sekadar seremoni belaka.

Makan ketupat pada tujuh hari setelah IdulFitri, bukan berarti untuk merayakan Idul Fitrei baru, meski namanya Lebaran Ketupa. Makan ketupat adalah simbolisasi dari keinginan mengubur segala dosa-dosa. Budaya ini tanpa bermaksud mengubah pemaknaan Idulfitri itu sendiri, dan ini diterima dengan baik oleh masyarakat kita.

Harmoni antara agama dan budaya setempat (akulturasi budaya) inilah menjadi nilai tambah kita di mata dunia. Janganlah harmoni ini dirusah dengan tafsir-tafsir yang merusak dan sempit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun