Sejak berabad dulu, sejak Indonesia lebih dikenal sebagai Nusantara, warga Nusantara hidup dalam tatanan sosial yang majemuk. Dengan semua perbedaan yang ada (Banyak dan kompleks itu) mereka terbiasa untuk menerima perbedaan itu.
Agama mula-mula yang ada di Nusantara bersifat aliran kepercayaan (animisme) tetapi mereka terbuka terhadap agama baru yang dibawa oleh para pedagang atau pihak lain di Nusantara  Aliran kepercayaan yang bersifat animisme ini banyak sekali terdpat di Nusantara sejak di Aceh sampai di Papua. Sebagian mereka masih melakukan ritual kep[ercayaan mereka sampai sekarang.
Karena bersifat terbuka (baca: menghargai) pada agama yang dibawa para pendatang, maka agama baru itu tidak banyak mengalami kesulitan untuk dapat diterima oleh para warga lokal. Kita tahu Hindu Budha lebih dulu dipeluk oleh sebagian besar warga nusantara. Kemudian Islam sudah dipeluk oleh sebagian warga Nusantara. Karena itu ketika para misionaris Jerman, datang ke Nusantara untuk menyebar agama dan mereka hendak menuju Papua, kesultanan di Halmehera yang beragama Islam, membantu mereka dengan mengawal para misionaris itu ke Papua.
Sampai kira-kira dua dekade lalu, warga Indonesia yang berlandaskan Pancasila ini saling menghargai. Mereka mengucapkan selamat menjalankan perayaan agama kepada para umat lain tanpa ada polemik panjang. Mereka juga terbiasa saling menghargai pemeluk lain tanpa ada syarat tertentu.
Kini itu, seakan menjadi kenangan di beberapa wilayah Indonesia. Mereka saling hargai satu sama lain soal toleransi. Yang terjadi kini adalah setiap akan Natal, muncul polemik hanya untuk memutuskan apakah kaum muslim bisa  mengucapkan selamat Natal kepada non muslim. Ada tafsir yang menganggap bahwa mengucapkan itu sama saja dengan menyetujui agama tersebut. Hingga pernah terjadi perdebatan yang sangat tajam, yang membuat seorang tokoh muslim harus berbicara soal ini.
Jika saja tokoh tersebut tidak turun tangan dan memberi tafsir yang moderat soal ucap[an selamat itu, bisa saja menimbulkan permusuhan. Orang-orang beragama dapat saja menjadi musuh bagi sesamanya, bahkan orang yang paling dicintai sekalipun. Hal itu salah satunya disebabkan oleh kecenderungan masyarakat yang sibuk mengurusi urusan doktrin agamanya saja, sehingga urusan-urusan itu menjadi alat paling ampuh untuk melunturkan toleransi antar umat beragama. Fenomena ini bisa disebut eksklusifitas beragama. Hal itu melahirkan fanatisme keagamaan dan stereotipe antar agama.
Karena itu mungkin sesekali kita harus menengok tafsir agama yang bersifat moderat. Tafsir moderat sama sekali tidak mengubah akidah. Islam moderat membawa kita mendukung toleransi yang memang sudah mendarah daging di Nusantara (Indonesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H