pesantren dan belajar agama dengan lingkungan yang islami, dan tentunya bergelar santri.Â
Menjadi santri adalah sebuah harapan sendiri bagi sebagian orang, terutama pemuda. Tidak sedikit para pemuda-pemudi ingin masukPara orang tua pun banyak yang menginginkan anaknya untuk mondok di pesantren, mengingat zaman sekarang pesantren adalah lembaga pendidikan yang paling efektif untuk mengkader insan-insan menjadi manusia yang bertakwa, berakhlak dan berilmu.
Namun, sebagian pemuda yang terlanjur masuk sekolah umum tanpa pendalaman agama, rasanya tidak mungkin lagi dirinya bisa mengenyam pendidikan di pesantren. Faktor usia dan keterlambatan pendidikan agama jelas menjadi alasan yang utama. Keinginannya untuk belajar agama terhalang oleh gengsinya. Padahal, kesempatan selalu terbuka.
Saya ingin berbagi pengalaman saat pertama masuk pesantren di usia 18 tahun. Kala itu, saya baru lulus SMA di salah satu sekolah semi militer. Begitu banyak pertanyaan yang datang tentang kelanjutan studi yang akan saya jalani usai lulus dari Lemdik Taruna.Â
Apalagi karena saya pernah menjabat sebagai Ketua OSIS --tanpa bermaksud menyombongkan diri--, tentu teman-teman yang lain mengira bahwa saya akan daftar di sekolah tinggi negeri, sekolah kedinasan atau langsung daftar menjadi anggota TNI/POLRI. Namun, begitu mudah saya jawab, "Saya mau masuk pesantren." TITIK.
Apakah ada kesulitan saat Taruna banting setir jadi santri? Mengingat latar belakang yang jauh berbeda, tentu harus beradaptasi lagi dengan lama.
Setelah lulus SMA, saya menyiapkan diri untuk ikut tes penerimaan santri baru di Ponpes Dalwa, salah satu pesantren yang terkenal sebagai pusat pembelajaran bahasa Arab di tanah air.Â
Saya pilih pesantren itu agar lisan lebih cepat terbiasa mengucap bahasa Arab, karena di sana para santri diwajibkan berinteraksi memakai bahasa Arab setiap waktunya.Â
Dengan berlatih bicara bahasa Arab, saya berharap lidah ini tidak kaku lagi setelah sejak SMP hingga SMA tidak dibiasakan mengucapkan lafadz dari susunan huruf hijaiyah itu.
Sebelum berangkat, saya minta kepada teman yang sudah lama belajar agama di pesantren dekat kampung halaman untuk mengajarkan baca kitab kuning. Saat mencoba, betapa pusingnya belajar membaca arab gundul.Â
Teman saya juga mengomentari bacaan Al-Qur'an saya. Katanya, "Balajar Al-Qur'an dulu yang bener." Akhirnya, saya belajar kepada teman sebaya itu bacaan Al-Qur'an yang benar. Tentu tanpa rasa malu dan gengsi. Saya sebut teman yang mengajari Al-Qur'an itu adalah guru saya. Selamanya.