Kasus di Indonesia dan Analisis berdasarkan Hukum Positivisme
Kasus susu formula berbakteri di Indonesia melibatkan penemuan bakteri Enterobacter sakazakii dalam produk susu formula, yang memicu gugatan terhadap Kementerian Kesehatan, BPOM, dan IPB untuk mengumumkan merek susu tersebut. Berdasarkan perspektif filsafat hukum positivisme, menekankan bahwa hukum adalah norma yang ditetapkan oleh otoritas.Â
Dalam kasus ini, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang mengharuskan pengumuman merek susu tercemar, yang merupakan norma hukum yang harus dipatuhi oleh pihak terkait. Meskipun putusan MA bersifat mengikat dan memiliki kekuatan hukum tetap, pihak-pihak seperti Kementerian Kesehatan dan IPB menolak untuk mematuhi dengan alasan melanggar kode etik penelitian. Ini menunjukkan ketidakpatuhan terhadap norma hukum yang ada, menciptakan ketegangan antara hukum positif dan praktik birokrasi.
Penyidik menghentikan penyidikan karena pelapor tidak memiliki legal standing untuk mengajukan laporan pidana, menunjukkan bahwa hanya pihak yang dirugikan secara langsung yang dapat mengajukan keluhan. Ini mencerminkan batasan dalam penerapan hukum positif yang tidak mempertimbangkan kerugian publik yang lebih luas.
Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat norma hukum yang jelas, penerapannya sering kali terhambat oleh faktor-faktor administratif dan etika, menciptakan ketidaksesuaian antara hukum dan keadilan sosial.
Mahdzab Hukum Positivisme
Mazhab hukum positivisme adalah aliran dalam filsafat hukum yang menekankan pemisahan tegas antara hukum dan moralitas. Menurut pandangan ini, hukum dianggap sebagai norma-norma yang ditetapkan oleh penguasa dan tidak bergantung pada nilai-nilai moral atau etika.
Argumentasi Terkait Mahzab Hukum Positivisme
Menurut pendapat saya dalam konteks hukum di Indonesia, mazhab hukum positivisme memberikan kerangka untuk menganalisis kasus susu formula berbakteri.Â
Hukum positif di Indonesia, termasuk dalam kasus ini, berlandaskan pada peraturan yang jelas dan tertulis. Hukum yang berlaku mengharuskan pihak-pihak yang terlibat untuk mematuhi norma yang ada, tanpa mempertimbangkan nilai moral atau keadilan sosial. Dalam kasus susu formula, norma hukum yang mengatur keamanan pangan harus diterapkan secara ketat untuk melindungi konsumen.
Mazhab hukum positivisme dalam konteks kasus susu formula berbakteri menekankan pentingnya kepatuhan terhadap norma-norma hukum yang ada, meskipun hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan terkait keadilan sosial dan moralitas dalam penegakan hukum.