Mohon tunggu...
Athiah Listyowati
Athiah Listyowati Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Fulltime Blogger & Public Officer

Interesting on human behavior, Islamic economic finance and books.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Negeri Seribu Wajah

18 Mei 2011   03:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:31 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Engkau lahir di sini, di bumi yang setiap jengkalnya mengingatkanmu akan sejarah. Sebuah perjuangan panjang bertemankan bambu runcing dan cinta akan kemerdekaan. Engkau dibesarkan di sini, di bumi yang dipenuhi sawah membentang dan laut membiru. Sebuah anugerah tak terbalaskan sepanjang masa. Aku pun yakin, Engkau pun kelak bercita-cita untuk mati di sini, di bumi yang dihuni orang-orang yang mengasihimu sepenuh hati. Mereka yang membersamaimu hidupmu, mereka bisa Aceh, Batak, Minang, Jawa, Sunda, Bali, Madura, Toraja, Maluku pun Irian. Di negeri ini, negeri seribu wajah.



Inilah negerimu, negeri yang memberi cinta pada setiap wajah. Memberi senyum pada setiap wajah. Memberi semangat pada setiap wajah. Pada setiap wajah, kita pun menemukan cinta.



Pada negeri ini, kau temui juga seribu citarasa. Maka kau akan mengerti mengapa orang Padang bisa memanjakan lidah orang Betawi. Makan cotto Makassar di Medan pun mungkin. Bahkan sampai akhir hayatmu pun mungkin kau tak akan bisa mencicipi semua citarasa. Betapa tidak? Citarasa negeri ini begitu kaya, kau tidak hanya punya sambal terasi, kau punya sambal bajak, kau punya sambal bali, kau punya sambil hijau, kau punya sambel tomat, tapi aku paling suka sambal tempe.



Negeri ini pun punya seribu lagu. Meski kau kehilangan Rasa Sayange, telingamu masih punya punya Cublak-cublak Suweng, Kicir-kicir, Anging Mamiri, Cik-Cik Periuk, O Ina Ni Keke, dan kesukaanmu Gundul-Gundul Pacul, persis seperti kepalamu. Hapalkan dan nyanyikan jika tak ingin dinyanyikan orang lain. Ini lagu punya kita. Aseli punya negeri ini, negeri seribu lagu.



Tidak, negeri ini sama sekali tidak bodoh, jika ia bodoh, ia tak akan mampu menciptakan seribu bahasa. Ji, kau tak biso matur kito idak cakap. Lihat, negeri ini luar biasa pintar. Dari ujung ke ujung, bahasa mencirikan siapa aku siapa kamu. Tapi bahasa tak menjadi pemisah. Bahkan ia menjadi magnet yang membuat kita saling tertarik.



Tenang, tinggal di negeri ini kau tidak akan pernah merasa bosan. Kau bisa main alat musik apa? Negeri ini memberimu seribu nada. Kau bebas memilih indahnya angklung, syahdunya Sasando Rote, uniknya Gamelan atau cerianya Kulintang. Tapi paling cocok untukmu adalah kendang, kau kocak sekali saat memainkannya. Semangatmu membuat setiap penonton menari kegirangan.



Negeri ini pun dipenuhi seribu penari. Lihat, aku bisa menari Kecak, tapi kau lebih memilih tari Seudati, itu karena kau jatuh cinta pada gurunya kan? Kau tak bisa membohongiku. Tapi tak apa, paling itu cinta monyet. Palingan kau juga akan jatuh cinta jika bertemu mereka yang menari Gambyong, tari Kecak, tari Pendet, tari Legong, bahkan Reog Ponorogo pun kau pasti suka.



Yah, inilah negeri tempat kau dan aku lahir, besar dan aku harap sampai kita mati. Bukan karena aku terpaksa, tapi sungguh aku bersyukur, karena negeri ini pasti membuat iri negeri lain. Lihat, mereka mulai berusaha membuat kita lupa dengan siapa diri kita. Mereka ingin mengelabui bahwa negeri mereka lebih baik. Padahal negeri kita tak kalah keren dengan mereka. Tidak kalah, karena aku dan kamu sudah berjanji untuk memenangkannya. Ia senantiasa menang di hati kita, maka kemenangan itu tidak akan pernah direbut dan berganti dengan negeri lain. Kecintaan pada gudeg, angklung, pendet dan cendol, membuat kita mengerti. Bahwa negeri ini dalam hati kita, begitu lekat, begitu kuat, cinta ini pada negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke, selalu mengingatkan kita pada rindu dan cinta serta pelukan ibu pertiwi. Dia yang namanya tak lekang oleh jaman, dia Indonesia. Dialah yang menyatukan kita, kita yang berbeda namun satu, membuat kita paling Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun